BANALITAS PEMBERITAAN ISU LINGKUNGAN DI MEDIA MASSA MAINSTREAM∗
Oleh: Chandra Kirana
“If Sartre worried about the banality of evil, neoliberal post deficit platforms are presenting us with the evil of banality,” Simon Archer.
After you’ve had somebody say to you for the thousandth time, “How come we never hear about these issues in the media,” you start to realize that the media itself is an issue – Svend Robinson
Banyak keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam, ditentukan oleh pemenang polemik yang mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomi dominan, sementara itu sumberdaya alam semakin hancur. Pada akhirnya kehancuran ini ikut menyeret kehidupan manusia kedalam kesulitan-kesulitan riil yang tidak dapat diatasi semata-mata melalui keputusan-keputusan politik dan negosiasi-negosiasi yang didasarkan pada kepentingan ekonomi yang mendominasi panggung politik global, nasional, maupun local sekarang ini.
Sejatinya alam, tidak memiliki kebutuhan untuk dipolemikkan. Tidak ada kepentingan-kepentingan yang dipihakinya dan tidak ada negosiasi-negoaiasi yang menarik baginya. Selama fakta yang ‘keras’ ini tidak dipegang, meskipun mungkin banyak pihak memahaminya, maka akan selalu hanya ada ‘polemik’ tentang lingkungan tanpa tindakan nyata. Sementara itu bumi terus bergulir, melakukan berbagai ‘penyesuaian’ untuk mencapai equilibriumnya sendiri – dalam menghadapi berbagai katalis yang sadar atau tidak diciptakan oleh manusia melalui peradabannya.
Contoh isu lingkungan yang paling fenomenal adalah isu pemanasan global dan perubahan iklim. Sudah sejak lama para ilmuwan mengingatkan bahwa peradaban manusia yang berkembang begitu cepat paska revolusi industri, terutama keserakahannya mereguk energi fosil yang seolah-olah tanpa batas – mengganggu ekuilibrium alam – dan mengakibatkan pemanasan bumi. Pada gilirannya pemanasan bumi ini mengakibatkan perubahan iklim yang membawa berbagai dampak yang sangat serius bagi umat manusia.
Banyak sekali isu lingkungan lainnya yang penting untuk dipahami dan ditindak-lanjuti oleh publik melalui karya nyata sebagai warga negara dan warga dunia yang bertanggungjawab. Namun realitasnya sungguh sulit untuk mendapatkan pangsa media massa yang layak bagi informasi lingkungan. Paper singkat ini, mengupas beberapa alasan yang melatarbelakangi miskinnya pemberitaan tentang lingkungan, apa harga yang harus dibayar dengan kurangnya informasi tentang lingkungan yang bias dipertanggungawabkan integritasnya, dan menyajikan beberapa contoh upaya yang ada untuk mengangkat isu lingkungan sehingga bisa diketahui, dipahami dan ditindaklanjuti oleh publik. Pada akhirnya paper ini secara sepintas membandingkan jurnalisme lingkungan di AS dengan jurnalisme lingkungan di Indonesia.
Terhalang kepentingan ekonomi dan kekuasaan industri
Media massa – yang merupakan interface, antara hasil karya jurnalistik dengan publik sesungguhnya tidaklah bebas kepentingan. Dari sudut pandang idealis, jurnalisme yang baik dapat membantu publik untuk mengerti apa yang sedang berlangsung disekelilingnya – sehingga dapat ikut aktif dalam proses pengelolaan keputusan-keputusan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak - “Journalism is an ethical practice because it tells people what matters and helps them determine what they should do about it,” demikian ungkapan Ed Wasserman. Sementara itu Richard Reeves, menyatakan bahwa “Real news is the news you and I need to keep our freedom.”
Mengikuti idealisme journalistik ini, tumbuh harapan bahwa jurnalisme akan mampu menjalankan peran penting didalam menentukan kualitas demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Bill Moyers sebagai berikut: “I believe democracy requires ‘a sacred contract’ between journalists and those who put their trust in us to tell them what we can about how the world really works.” Tentunya ini juga berlaku dalam demokratisasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Jika melihat idealisme para wartawan dan pelaku jurnalistik diatas, masih mungkin ada harapan untuk bergulirnya polemik mengenai lingkungan yang mengemukakan fakta-fakta ilmiah mengenai kondisi dan evolusi lingkungan secara obyektif. Ini pada gilirannya dapat ikut digunakan sebagai landasan pembuatan keputusan yang berpihak pada kesejahteraan umat manusia dan kelestarian lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataannya upaya untuk menyajikan fakta dan kebenaran dalam berbagai polemik lingkungan sehingga dapat dinikmati oleh publik tanpa hambatan, sangatlah sulit.
Sebagai ilustrasi, mari kita tengok pengalaman Bill Moyers, jurnalis kawakan AS yang memenangkan Emmy Award untuk outstanding investigative journalism dari National Academy of Television Arts and Sciences – untuk hasil karya filmnya berjudul Trade Secrets. Karya ini mengungkap catatan arsip internal sejumlah industri kimia raksasa yang menyembunyikan informasi mengenai berbagai bahan kimia beracun yang ditemukan dalam produk-produk mereka dari para konsumen dan karyawan demi menjaga citra produknya. Arsip-arsip internal ini jelas mengungkap fakta – bukan opini – tentang kehadiran bahan-bahan kimia yang berbahaya. Dan penyembunyiannya mensinyalir hidupnya korupsi yang mendalam dan menyeluruh di kalangan industri Amerika serikat saat itu. Andaikata publik dan penentu kebijakan pemerintah mengetahui fakta-fakta tentang resiko kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran bahan-bahan kimia yang ditemukan, dapat dipastikan bahwa hukum dan peraturan Amerika Serikat menyangkut manufaktur bahan-bahan kimia akan jauh lebih protektif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Ketika film investigasi Trade Secrets akan ditayangkan, industry tidak tinggal diam. Mereka melakukan upaya counter campaign yang sangat gencar untuk mendiskreditkan Bill Moyers secara personal, dan melobi sekutu industri dalam kongres untuk menekan stasiun televisi PBS untuk tidak menayangkannya. Untunglah PBS bertahan terhadap tekanan itu dan tetap menayangkan filmnya. Setahun kemudian Trade Secret memenangkan Emmy Award. Sebuah kemenangan bagi jurnalisme idealis sekaligus pemberi semangat bagi mereka yang berupaya menjaga kesehatan lingkungan dan manusia.
Kasus Trade Secret ini tidak berdiri sendiri. Berkali-kali terungkap bahwa industri berusaha menutup-nutupi berbagai persoalan lingkungan dengan melakukan kampanye pendiskreditan terhadap kualitas kajian ilmiah tentang lingkungan yang dinilai dapat mengusik bisnis mereka. Baru-baru ini misalnya, ExxonMobil meluncurkan suatu kampanye public relations secara terselubung untuk menyebarkan keraguan mengenai kesahihan kajian-kajian ilmiah tentang pemanasan global. Mereka mendanai pelobi-pelobi untuk memberi disinformasi kepada publik dan para politisi tentang perubahan iklim. Perusahaan ini juga meluncurkan kampanye iklan yang menyebarkan informasi bahwa masih terlalu sedikit yang diketahui secara pasti tentang pemanasan global untuk mendasari aksi pencegahan dan penanggulangan. Tujuan akhir mereka adalah agar pemerintah tidak bertindak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Para ilmuwan telah mengangkat isu ancaman perubahan iklim sejak 1980an, dan kini bahkan Pentagon-pun cemas. Sebuah laporan rahasia dari Pentagon yang ditutup-tutupi oleh para petinggi pertahanan AS, memperingatkan bahwa kota-kota utama di Eropa akan tenggelam oleh naiknya permukaan laut, dan Inggris akan menjadi seperti Siberia dalam kurun waktu menuju 2020. Ironisnya – Protokol Kyoto – yaitu konvensi internasional yang lahir sebagai upaya untuk menanggulangi perubahan iklim, hingga kini masih terseok-seok mengalami berbagai ganjalan dalam proses implementasinya di sejumlah negara. Konvensi ini kalah oleh berbagai kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Sebagaimana diungkap oleh Michael Grubb, et. al. dalam bukunya “The Kyoto Protokol: a Guide and Assesment” – bahwa “kerjasama dan aksi untuk membatasi perubahan iklim sangatlah kompleks karena respon yang serius berpotensi untuk menjangkau jauh kedalam kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik negara-negara”.
Lawan yang dihadapi oleh para pejuang lingkungan hidup dalam polemik sekitar isu perubahan iklim – adalah industri minyak, gas dan pertambangan. Industri ini memiliki kekuasaan yang luar biasa dipanggung ekonomi global, dan bersama dengan industri otomotif dan energy, mereka berhasil menghadang implementasi kesepakatan Kyoto selama lebih dari satu dekade. Meski Eropa sejak tahun 90an telah mengembangkan langkah-langkah serius untuk menurunkan tingkat emisi carbonnya, dengan semakin banyak memberi pangsa pada energi alternatif, tidaklah demikian halnya di Amerika Serikat. Delapan tahun setelah kesepakatan Kyoto dicapai – minyak bumi dan batubara tidak memiliki saingan yang berarti sebagai sumber energi di negeri ini, bahkan di tahun 2005 menurut para analis industri terdapat 68 pembangkit energi batubara yang sedang dibangun. Detroit membuat mobil yang menghabiskan bahan bakar rata-rata lebih banyak dibanding mobil-mobil yang diproduksi dalam dua dekade sebelumnya, dan presiden Amerika maupun oposisinya tidak pernah membahas pemanasan global.
Strategi yang digunakan oleh industri sangat sederhana: memperumit isu sehingga warga negara (para pemilih) tidak tergerak untuk menjadikan isu perubahan iklim sebagai agenda utama. Pendekatan ini sangat berhasil; sepanjang 1990an ketika negara-negara maju lainnya mulai melakukan perubahan, koalisi industri bahan bakar fosil berhasil membuat jurnalis Amerika memperlakukan berita mengenai pemanasan global yang kian parah sebagai cerita si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.
Konsolidasi dan konglomerasi media diikuti trivialisasi berita
“Information – forget understanding, forget analysis, forget interpretation, forget wisdom – is entertainment. This is known to the media! - Frank Rich.
Di masa Orde Baru, kita mengenal pemberangusan dan pembreidelan media massa. Pada masa itu, konflik lingkungan sangat sedikit diberitakan. Pemasungan ini menyebabkan berita lingkungan tak sempat lolos keranah publik. Kini pemberangusan oleh negara seperti ini tidak terjadi, dan kebebasan media masa lebih terjamin. Walau demikian, berita lingkungan tetap tidak mendapatkan porsi yang selayaknya. Salah satu penjelasan bagi gejala ini, adalah bahwa meskipun kini outlet media massa bertambah, namun kepemilikannya sebenarnya semakin langsing akibat proses konglomerasi dan merger berbagai media kedalam satu kelompok. Ini memungkinkan media masa untuk melakukan cross-marketing bagi produk-produk mereka, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Proses ini juga meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik korporasi dan pengiklan, namun mengurangi keragaman dan kedalaman berita yang dapat dinikmati oleh publik. Pada tahun 2000, hampir 90% media AS dimiliki oleh hanya 5 korporasi, dan konsentrasi kepemilikan ini masih berlangsung dengan konglomerat seperti Eisner, Murdoch dan Newhouse saling bersaing.
Gejala seperti ini merupakan fenomena media massa global, menimbulkan kerisauan tentang nasib kepentingan publik dalam peliputan media massa sebagaimana diungkapkan oleh Mark Crispin Miller, dalam artikelnya “Whats Wrong With This Picture?” dalam The Nation, January 7, 2002 berikut “Dari semua konsekuensi kartel (media) bagi masyarakat dan budaya Amerika, yang paling parah adalah pengaruhnya yang korosif pada jurnalisme. Dibawah AOL Time Warner, GE, Viacom et al., berita – dengan beberapa pengecualian, tak lebih merupakan versi lain dari hiburan yang dipasarkan secara nonstop oleh kartel mereka. Ini bukan hal baru – tapi skala raksasa dan penguasaan yang menyeluruh oleh konsentrasi penguasaan korporasi menjadikan dunia tempat yang lain. ….divisi media di kartel media ini tampaknya bekerja melawan kepentingan publik – untuk kepentingan induk perusahaan mereka”(terjemahan bebas).
Saat ini, informasi dan pengetahuan yang disebarkan oleh media massa kepada publik didominasi oleh hiburan dan iklan. Banalisasi jurnalisme di media massa mainstream ini bisa dilihat terjadi juga dalam perubahan wajah KOMPAS, dimana kini satu bendel penuh yaitu KLASIKA hanya berisi iklan. Kadang ini masih ditambah dengan bendel SOROTAN yang membahas kategori produk tertentu seperti otomotif, electronic, property, dsb, yang pada hakekatnya juga tak lebih dari iklan. Sedangkan bendel-bendel lainnya juga tidak ada satupun yang bebas dari iklan. Ini merisaukan, mengingat KOMPAS bagi banyak orang merupakan tolok ukur media masa yang serius dan berbobot di Indonesia – jika inipun tak punya rubrik harian yang tetap untuk lingkungan, bisa dibayangkan miskinnya pemberitaan lingkungan di media massa yang lain.
Akan menarik untuk mengetahui seberapa besar kontribusi iklan pada pendapatan media massa di Indonesia, karena ini akan memberikan gambaran yang bagus tentang siapa sebenarnya yang menentukan menu informasi yang kita nikmati lewat media massa sekarang ini. Dalam sebuah interview di tahun 2000, Mark Dowie, penulis buku “Losing Ground: American Environmentalism at the Close of the Twentieth Century” yang dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan Pulitzer, menyatakan bahwa ketika itu 99% pendapatan media broadcast di AS berasal dari iklan, sedangkan media cetak 65-70%. Menurutnya media broadcast komersial tak lebih dari mesin iklan. Lebih jauh diungkapkannya bahwa 70% dari pengiklan TV di AS berasal dari 100 korporasi terbesar di negeri itu. Jadi TV dikendalikan oleh periklanan korposasi yang merayu konsumen untuk menonton iklan mereka. Menurutnya, adalah naïf untuk menganggap TV sebagai medium untuk mengkomunikasikan gagasan, pemikiran, nilai-nilai dan politik.
Akibat dari situasi ini, isu-isu lingkungan sulit masuk ke media massa mainstream karena tidak dapat mendatangkan uang. Para jurnalis lingkungan dihadapkan pada situasi dimana tempat kerja mereka bukan lagi menjadi instrumen untuk memproyeksikan gagasan dan informasi nyata yang independen. Media dimana mereka berada kini lebih merupakan instumen sales.
Langkanya informasi lingkungan yang reliable di media massa mainstream menggerogoti kepercayaan publik
“What suffers in the atmosphere of immediacy is analysis. What suffers in the search for speed is depth. The media in the wealthy world are becoming increasingly simplistic, superficial, and celebrity-focused,”laurie Garett
Menyajikan journalisme jujur dan faktual, yang membantu publik membuat pilihan-pilihan dengan baik, kian hari semakin sulit. Menurut Bill McKibben, wartawan lingkungan kawakan yang menulis “The Death of Nature, isu tersulit untuk dilaporkan zaman ini mungkin adalah percepatan kerusakan lingkungan. Beliau mengungkapkan bahwa banyak kebijakan pengelolaan lingkungan, dalam kenyataannya memungkinkan terwujudnya aksi vandalisme terhadap air, udara, tanah, dan laut. Andaikata peraturan-peraturan ini menjadi lebih baik dan bisa ditegakkan secara tegas sekalipun, hanya sebagian saja persoalan lingkungan yang akan bisa diselesaikan. Sementara itu, banyak persoalan sudah terlanjur demikian parah dan membawa bahaya yang tidak mungkin dicegah lagi – seperti misalnya persoalan perubahan iklim.
Kompleksitas isu-isu lingkungan seringkali melibatkan ilmu pengetahuan yang canggih dan rumit. Apakah itu isu yang berkaitan dengan pencemaran air, tanah dan udara oleh pertanian berbasis kimia, apakah itu isu anak-anak yang keracunan akibat emisi kendaraan bermotor yang mengandung logam berat timbal, ataukah isu erosi genetik yang pada gilirannya dapat menimbulkan berbagai kondisi alam yang tidak seimbang, hingga ke isu potensi dampak negatif bioteknologi pada lingkungan maupun kesehatan manusia – semuanya membutuhkan penguasaan ilmiah untuk menjelaskannya, apalagi untuk memperdebatkannya diarena publik ataupun diarena hukum. Kondisi ini sangat memperlemah posisi masyarakat awam dalam memperjuangkan kesehatan lingkungan yang notabene penting untuk kesehatan manusia – mereka seringkali terbentur pada fakta bahwa memperoleh pendapat ilmiah dari ilmuwan itu mahal.
Dalam sebuah buku berjudul “Trust Us, We’re Experts,” Sheldon Ramptom dan John Stauber mengungkap bagaimana berbagai korporasi didunia ‘membeli’ ilmu pengetahuan, dan bagaimana sebagian besar laporan ilmiah yang ditemukan di dalam media massa, tercemar oleh pembiayaan korporasi. Tentu tidak bias dikatakan bahwa jika ilmuwan dikontrak oleh suatu korporasi maka serta merta kerja ilmiahnya pantas diragukan, namun ada kalanya ilmuwan dibayar sangat mahal untuk memberikan pernyataan dan pendapat yang semestinya diberikan secara independen dengan memperhatikan integritasnya sebagai ilmuwan. Seperti kasus seorang ahli biostatistik yang menerima bayaran US 10,000 untuk menulis surat sepanjang delapan paragraph kepada jurnal American Medical Association, yang membantah hubungan tembakau dengan kanker. Surat itu dimuat di dalam jurnal kesehatan yang bergengsi ini, dan si ahli tidak mengemukakan fakta bahwa dia menerima bayaran sangat tinggi untuk menulisnya.
Besarnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan dalam jurnalisme saat ini, serta kekompleksan ilmiah dari isu-isu lingkungan bisa jadi menyebabkan semakin sulitnya ditemukan polemik tentang lingkungan yang berkualitas di media massa. Dalam buku “A Question of Trust,” Onora O’neil, seorang filsuf dan Principal dari Newnham Colledge, Cambridge University – Mengungkapkan bahwa media massa memiliki peran yang efektif untuk menantang praktek-praktek korporasi dan pemerintah yang kurang jujur. Namun pada saat yang sama berbagai survey menunjukkan bahwa saat ini jurnalis termasuk profesi yang dianggap kurang dapat dipercaya. O’neill menduga bahwa kini kita hidup dalam budaya saling curiga, karena warga negara tidak memiliki kepastian tentang integritas ulasan berita yang mereka terima melalui media massa. Contoh-contoh jurnalistik investigative yang menonjol, terlalu sering tercampur baur dengan liputan yang teledor, kegagalan untuk mengidentifikasi sumber, kegagalan untuk menggunakan sumber yang dapat dipercaya, headline yang tidak akurat, dan pengaburan analysis yang hati-hati dengan agenda partisan, pemasungan dan pengabaian suara-suara yang penting, dan pengrusakan terhadap reputasi individu yang semestinya mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
Lebih lanjut O’neill mengungkapkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, akses kepada informasi tidak terlalu merupakan masalah. Tantangannya adalah pada upaya mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Menurut O’neill integritas jurnalisme terlalu sering tenggelam dalam kompromi terhadap kepentingan finansial dan berbagai kepentingan lainnya. Dikatakannya bahwa seharusnya kebebasan pers disertai pula dengan sikap bertanggungjawab. Jurnalis selayaknya dituntut untuk memenuhi standar yang tinggi jika karyanya diharapkan memberi sumbangan yang berarti dalam menyampaikan informasi yang berguna dalam membantu warga negara membuat berbagai keputusan. Sesuatu yang sulit dipenuhi manakala media massa kini, sangat bergantung kepada dana iklan untuk survival mereka.
Jurnalisme dan peliputan berita lingkungan - “Perbandingan Amerika vs Indonesia”.
Di Amerika
Pemberitaan tentang lingkungan memiliki kans yang lebih besar untuk berimbang yang menjamin sumber-sumber independen untuk bersuara karena beberapa hal seperti:
- Adanya berbagai sumberdaya khusus yang diciptakan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pemberitaan lingkungan. Seperti misalnya:
- SEJ (Society for Environmental Journalists), yang merupakan asosiasi jurnalis lingkungan dengan visi “menciptakan masyarakat yang berpengetahuan melalui jurnalism lingkungan yang prima,” dan misi “meningkatkan pemahaman publik tentang isu lingkungan dengan cara meningkatkan kualitas, akurasi dan visibility peliputan berita lingkungan.” Dalam rangka mencapai visi dan misi ini SEJ memberikan dukungan penting bagi jurnalis dari semua media dalam upaya mereka untuk meliput isu-isu lingkungan yang kompleks secara bertanggungjawab. SEJ juga bekerja untuk meningkatkan kesadaran para editor, manager berita, penerbit, dan pengambil keputusan kunci lainnya tentang pentingnya peliputan berita lingkungan. Untuk mendanai kerjanya SEJ menerima dana dari berbagai sumber, termasuk sumbangan personal, korporasi media massa maupun dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Akan tetapi mereka tidak menerima dana dari korporasi non media, dari pemerintah, dan juga tidak dari NGO atau kelompok-kelompok lingkungan.
- IPA (Independent Press Association!), memiliki misi “meningkatkan power publikasi-publikasi independen untuk mendorong masyarakat yang lebih terbuka, adil dan demokratis. IPA memberikan dukungan teknis kepada publikasi independen yang membutuhkan, akses kepada modal, dan servis distribusi kepada lebih dari 500 terbitan di AS, termasuk didalamnya Mother Jones, Ms. Magazine, The Nation, Harpers dan lainnya.
- Banyaknya publikasi khusus lingkungan – yang didukung oleh peneliti-peneliti yang memiliki dedikasi tinggi, ditambah dengan ketrampilan jurnalistik yang tinggi pula. Dengan demikian informasi dapat sampai kepada publik, dalam bahasa yang mudah dipahami oleh awam, namun tetap dilandasi kualitas ilmiah yang tinggi. Contohnya: Newsletter Mother Jones; situs internet “Environmental Research Foundation,” yang khusus menyediakan berita dan sumberdaya lain untuk memperjuangkan keadilan lingkungan, melalui penyajian informasi tentang kesehatan manusia dan lingkungan.
- Kecenderungan NGO lingkungan AS yang memiliki gabungan orang-orang dengan dedikasi tinggi, kalau tidak mau dibilang fanatik yang mencakup ilmuwan/peneliti, campaigner-yang biasanya memiliki ketrampilan jurnalistik yang tinggi, dan pelobi politik yang berpengalaman. Disamping memiliki akses kepada informasi korporasi dan pemerintah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan NGO lingkungan Indonesia. Kombinasi sumberdaya ini dapat digunakan untuk menghadapi korporasi yang paling kuatpun pada tingkat kecanggihan yang sama tinggi.
Di Indonesia
Sumberdaya pendukung untuk wartawan lingkungan di Indonesia yang tersedia dalam Bahasa Indonesia di internet hampir tidak ada. Juga asosiasi jurnalis/wartawan lingkungan tidak saya temukan ketika menjelajahi internet pada tanggal 12 Agustus 2005 yang lalu.
Sementara itu, sedikit sekali ilmuwan yang tertarik untuk menjadi aktifis lingkungan di NGO-NGO nasional, dengan perkecualian NGO konservasi yang memiliki jaringan internasional seperti WWF, TNC dan CI. Akan tetapi meskipun memiliki ilmuwan-ilmuwan yang tak perlu diragukan, lembaga-lembaga yang disebutkan terakhir cenderung menghindarkan keterlibatan dalam polemik secara frontal, dan juga kurang memiliki ketrampilan berkampanye maupun menyampaikan opini melalui media massa. Ketika terjadi polemik antara Newmont Minahasa Raya (NMR) dengan NGO berkisar pencemaran di Teluk Buyat yang dituduhkan berasal dari tambang emas milik Newmont, semua NGO besar ini tidak memberikan pandangan. Padahal dengan jaringan internasional dan dana besar yang dimilikinya, mereka memiliki kemampuan teknis untuk memberikan pandangan yang lebih mencerahkan tentang konflik ini.
Disisi lain, NGO nasional dan lokal yang terlibat dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, pada awalnya mengaburkan informasi secara kurang bertanggungjawab dengan cara mengangkat ‘kasus minamata kedua di Teluk Buyat’ secara high profile di media massa. Walaupun dapat dipastikan bahwa tambang emas NMR memang mencemari Teluk Buyat, namun tuduhan Minamata ini sungguh tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Akibatnya – polemik sekitar pencemaran untuk waktu yang lama hanya berkutat disekitar isu mercuri dan penyakit minamata. Perkembangan kasus ini hingga kini semakin tidak jelas, dan tidak ada tindakan remedial terhadap lingkungan yang harus dilakukan oleh NMR. Polemik Teluk Buyat ini tidak berhasil menghasilkan keputusan dimana lingkungan dan warga negara diselamatkan. Yang terjadi semata-mata adalah pencemaran nama baik kedua belah pihak, baik NMR maupun NGO dimata awam. NGO – nasional dan local juga masih perlu meningkatkan kualitas jurnalistik dari informasinya yang dirilis kepada pihak media massa dan publik. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan di Indonesia, berjalan terus dengan dampak yang parah pada kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Sudah waktunya, jurnalisme lingkungan yang berkualitas dan berintegritas didukung untuk tumbuh oleh NGO Indonesia yang peduli pada lingkungan.