Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Tuesday, January 31, 2006

Laba-Laba Kecil Penuh Inspirasi

Disekeliling kita banyak sekali benang-benang kebudayaan yang kini liar tertiup angin seperti layang-layang putus. Sebenarnya dalam memori kultural kita tenunan pengetahuan tentang hidup itu lumayan kuat dan indah. Dalam memori kultural kita di Jawa dan dimana saja sebenarnya - ada pengetahuan bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam untuk kesejahteraan untuk merajut pakaian, untuk menjaga kesehatan, juga untuk memupuk kondisi keuangan. Benang-benang itu masih ada kini, masih bisa ditangkap kembali untuk dirajut sepenuh hati.

Mencari dan mengurai benang-benang itu untuk merajutnya kembali memang tak mudah. Kondisinya sudah seperti sarang laba-laba yang rusak. Ada yang sudah menggumpal, ada yang sudah terbawa angin entah kemana - sehingga terasa seolah-olah sudah hilang. Tapi jika kita rajin menggali dan mencari, pada akhirnya akan ketemu juga. Lalu kita perlu mencari cara untuk merajutnya kembali - menjadi kebudayaan yang indah - kuat dan melindungi kehidupan.

Sebagian benang pengetahuan itu ada di dalam memori kita, sebagian kini telah ada di memori maya internet, ada lagi yang dapat ditemukan ditoko-toko buku, di archive-archive penelitian universitas diseluruh dunia, ditepi got dan pinggiran hutan ataupun desa, atau juga di mal-mal gemerlap tengah kota. Yang penting pasang seluruh kesadaran diri ketika mencari. Percayalah hasilnya bisa menakjubkan.

Di Subur Gemi Nastiti - sebuah komunitas super kecil di Sekaralas - kami mencoba menjadi laba-laba. Kami mengamati banyak sekali tanaman obat di sekeliling kita. Banyak diantaranya hanya dianggap gulma -dianggap hama bagi pertanian dibenak petani saat ini. Padahal tak lama sebelumnya -dua bahkan satu generasi sebelumnya tanaman-tanaman ini dimanfaatkan dengan penuh syukur untuk menjaga kesehatan manusia. sambil, melindungi tanaman-tanaman ini dari kepunahan dan mencari cara untuk membudidayakannya, kami mencoba membangkitkan semangat komunitas sekitar untuk memanfaatkannya. Diawal ini sulit sekali - ketika kami mencoba membangkitkan ketertarikan pada kearifan tradisional dari para tetua, orang lebih suka beli berbagai jenis obat modern yang tersedia di warung. Lalu kamipun mencari benang lain yang sekiranya dapat kami rajutkan - ternyata kami menemukannya di mal-mal - dalam berbagai packaging ramuan behan-bahan alami, di toko buku dalam bentuk buku-buku berilustrasi indah tentang tanaman obat Indonesia yang umumnya ditulis oleh dokter, dari web-site PROSEA yang banyak membahas tanaman obat, dari web-site republika, kompas dan lainnya yang kadang-kadang menyajikan resep-resep praktis untuk mengobati berbagai penyakit.

Melihat itu semua - anak-anak desa yang membacanya mulai bercerita pada orangtuanya. Kamipun mengajak mereka keliling kebun untuk mulai menenun pengetahuan di buku supaya terhubung pada kenyataan di kebun, dengan demikian anak-anak menjadi tahu, tanaman mana yang bermanfaat, dan bagaimana memanfaatkannya. Beberapa waktu lalu waktu pulang kedesa - Sari - iparku yang menjadi motor Subur Gemi Nastiti bercerita - kini banyak tetangga mulai mengkonsumsi berbagai tanaman obat sebagaimana dipelajari dari berbagai buku resep tanaman obat yang kubelikan di Gramedia Bogor. Mereka sudah mulai menceritakan manfaat yang dirasakan.

Syukurlah - peran laba-laba ternyata membawa manfaat juga. Ketelatenan dan kesabaran laba-laba dalam merajut kembali benang benang kehidupan pada akhirnya membawa dampak. Meski kecil - ada juga kontribusinya pada pelestarian keanekaragaman hayati dan perbaikan kualitas kesehatan manusia.

Saturday, January 28, 2006

'Sekar Arum' nuansa yang hilang dari pedesaan jawa kini

Sekar Arum - bunga yang harum! Suantu nuansa yang hampir punah dari desa-desa jawa saat ini. Tengoklah taman dirumah-rumah desa . Dulu taman - akan berisi mawar, menur, melati, mondokaki, ceplok-piring, kenanga dan kantil - kadang didekat parit sumur bertumbuhan pandan wangi pula. Semua tanaman ini dipilih karena memiliki bau yang harum. Seperti juga bunga 'arumdalu' dan sedapmalam (meski makna nama keduanya sama - mereka adalah tanaman yang berbeda - walau tentu saja keduanya sangat harum baunya). Bunga - dalam benakku selalu berarti bermakna harum, wangi - membantu untuk relaksasi - membangkitkan ketenangan dan kedamaian.

Di masa kecil - nenekku selalu memetik beraneka macam bunga dari taman untuk dipajang diatas meja dalam bokor kuningan cantik berukir. ada mawar merah, melati putih, kenanga hijau, kantil kuning dan sejumput irisan pandan hijau - 'kembang setaman' kata beliau sebaiknya berisi lima warna kata beliau - semua dipetik tanpa batang dan 'disajikan' mengambang dipermukaan air. Lima warna untuk mata dan lima 'warna' atau macam untuk indera penciuman - begitu kata beliau. Meski tak asing dari buket model belanda - beliau selalu memilih menghias ruangan dengan bokor dan 'kembang setamannya'.

Setelah dewasa - kupernah berkesempatan tinggal di Belanda selama tiga bulan untuk meneliti - sejauhmanakan sustainability cara hidup masyarakat Belanda? Itu terjadi ditahun 1990 - dalam rangka persiapan menuju UNCED - konferensi tinggat tinggi yang menandai mulai diperhatikannya lingkungan hidup secara serius oleh seluruh bangsa didunia (setidaknya diatas kertas dan dikancah politik - demikian). Nah pengalaman yang paling berkesan bagiku disini - karena berhasil 'menampar' kesadaranku - 'it sent my senses realing' - kualami di sebuah kota kecil bernama Boxtel - kota kecil atau lebih tepat disebut desa kecil ini merupakan desa pertanian - tanahnya mengalami persoalan yang serius - yaitu terlalu subur karena terlalu banyak kotoran sapi disini (pada waktu itu Belanda adalah eksportis sus dan keju terbesar didunia - padahal negrinya kecil sekali). Pikiranku melayang ke pegunungan kidul yang tak jauh dari kampung halamanku - alangkah akan bermanfaatnya semua kotoran sapi itu disana. Di Boxtel - semua ini hanya menimbulkan bau yang teramat tidak sedap. Timbul rasa yang aneh -'landscape' di desa itu indah - banyak sekali bunga-bunga termasuk aneka warna mawar yang sangat indah - serta padang rumput hijau terbentang luas. Suasanapun tenang - tak banyak orang lalu lalang - dan sapi-sapi yang gemuk dengan tenang makan rumput yang berlimpah. Semuanya sempurna - andai saja tak dirusak oleh bau kotoran sapi yang begitu menyengat. Kucoba menghibur hidungku dengan minta ijin memetik mawar untuk kutempel kehidung - namun aku sungguh kecewa - ternyata mawar disini tak wangi. Bentuknya saja yang besar dan indah, baunya hambar - tak wangi sama sekali.

Pengalaman ini mendorongku untuk menciumi semua buket yang kutemui di Belanda - ternyata semuanya indah, tapi semuanya tak berbau. Padahal warna-warna bunga ini begitu indah, begitu terang, rasanya seperti berada dalam dunia warna yang serba 'phsychedelic' warnanya terlalu berwarna.

Kini - tahun 2006 - kualami bunga-bunga di Jakarta juga sama dengan bunga-bunga dibelanda waktu itu. Berwarna indah - namun nyaris tanpa keharuman. Kujadi belajar bahwa ternyata bunga dan buket - kini lebih diasosiasikan dengan upaya untuk merangsang indera penglihatan saja. Tak lagi berfungsi menghibur penciuman - tak lagi bemanfaat untuk menenangkan jiwa - bahkan bisa dikatakan kebalikannya - rangkaian bunga lebih cenderung diciptakan untuk - menstimulasi 'exitement' membuat orang bergumam 'wah indah'! Semuanya diciptakan untuk memberi kesan berlebihan pada mata.

Aku rindu keindahan kecil yang lebih sederhana - dimata sejuk - lalu kita dapat menarik napas dalam - hmmmmm - dan mendapatkan keharuman yang membuai. Rasanya jika sudah begini, hilang penat di badan dan jenuh fikiran. Sayang, kini sulit sekali mencari bunga setaman -lima warna - lima nuansa wangi. Dunia kini - terobsesi pada upaya memanjakan mata, sementara sedikit-demi sedikit, tanpa disadari - kita semakin menciptakan 'kelaparan' bagi indera-indera kita yang lain.

Thursday, January 26, 2006

Ketika Cakrawala menjadi "Scrambled"

Ngobrol tentang seorang teman - tentang kreatifitas - tentang kemampuan untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Tentang keteguhan, ketegaran dan ketelatenan dalam membangun kemungkinan-kemungkinan baru. Lama-lama diskusi sampai ke topik cakrawala. Apakah cakrawala pikiran, nalar dan imajinasi manusia dibatasi oleh ruang? ataukah waktu? Ataukah ada dimensi lain kedalam mana cakrawala kognitif seseorang dapat dikembangkan?

Taruhlah kepercayaan tibet kuno yang dikenal dengan Bon - yang meyakini bahwa pemanfaatan energi fikiran secara terampil - adalah kunci pemberdayaan. Untuk memahami dan mentransformasikan sifat energi, fikiran kita menciptakan apa yang mereka sebut sebagai 'api didalam hati'. Api ini adalah transformasi dari intisari energi fikiran yang siap untuk digunakan secara terampil melalui emosi, niat/intensi, dan aksi - dan melalui kekuatannya kita dapat melakukan berbagai 'miracle' dalam hidup kita sehari-hari (Paling tidak ini yang dijelaskan oleh Christopher Hansard - seorang praktisi Bon yang cukup terkemuka).

Saya suka konsep ini - mungkin karena kuterobsesi dengan urusan hati yang menyatu dengan fikiran. Kupikir saat ini kita di Indonesia sudah lupa caranya berfikir dengan hati. Padahal semua hal yang baik - lahir dari kemampuan ini. Orangtua ketika mendidik anaknya sering berfikir dengan hati. Bagaimana kita bisa kembali menjadikan default cara berfikir kita menjadi 'berfikir dengan hati' - ini tantangan yang penting untuk dapat mencapai dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Mengapa demikian? Karena jika kita terbiasa berfikir dengan hari - niscaya cakrawala terasa menjadi terang - mudah bagi kita untuk melihat dan memahami berbagai sudut pandang, mudah bagi kita berempathy dengan persoalan-persoalan yang dihadapi sesama manusia - ini tentu lebih memudahkan dalam membangun jembatan komunikasi - membangun kohesivitas sosial - mengbangun 'trust'/kepercayaan - semuanya menjadi modal yang sangat bernilai dalam memberdayakan human capital. Ada kawanku yang bilang bahwa menyelamatkan lingkungan - niscaya adalah upaya untuk menyelamatkan peradapan manusia - yang hanya akan bermakna jika peradapan itu punya hati - tanpa hati niscaya peradaban kita takkan berjiwa. Cakrawala manusiapun menjadi buram dan kabur - 'scrambled' - jika sudah demikian tentulah sulit bagi manusia untuk bisa berfikir jernih, berfikir dengan hati yang bening.

Demokrasi, RSS dan Perempuan

Oleh-oleh dari Mataram - Diskusi disini bersama bebebrapa kawan dari civil society - ada dari pesantren, ada dari LSM, ada dari Universitas dan juga dari kalangan Jurnalis.
Topik diskusi? Demokrasi dan Good Governance (ketata-pemerintahan yang baik) he he... bahasa Indonesia kadang-kadang boros sekali ya...

Omong punya omong sambil makan siang kami membahas berbagai indikator terjadinya perbaikan demokrasi dan ketata-pemerintahan di Nusa Tenggara sejak diberlakukannya desentralisasi tahun 1999. Akhirnya kami sepakat - satu indikator yang baik adalah jika warga bisa ikut dalam proses penentuan kebijakan, juga dalam proses pembuatan anggaran pembangunan daerah, sampa ke tingkat desa. Termasuk juga tentunya para warga perempuan. Tantangannya; bagaimana mendorong munculnya kebijakan yang peduli kepentingan orang biasa, dan bagaimana pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk kebutuhan warga sebagai individu ataupun kebutuhan publik yang biasa-biasa juga.

Diskusi terus bergulir - dan ternyata muncul insight bersama - bahwa meskipun banyak sekali pekerjaan telah tercurah untuk memperbaiki ketata-pemerintahan ini, dan banyak capaian berupa PERDA (Peraturan daerah) baru telah terwujud, namun masih saja terasa adanya kesulitan untuk membumikan arena perjuangan sehingga berakar dalam kehidupan dan kepentingan yang dirasakan oleh setiap warga. akibatnya? Banyak dana habis untuk melaksanakan program demokratisasi dan good governance di Indonesia, namun ketika dana kering dan program terhenti, maka reformasi ketata-pemerintahan juga ikut mati suri. Bagaimana kita bisa menjadikan 'good-governance' concern aktif setiap orang sehingga maju dan mundurnya tidak bergantung kepada dana donor? pertanyaan sederhana, namun sulit menjawabnya. sebenernya ini mirip pertanyaan seorang kawan saya Dani, di blog Inspirit-nya... Dia berguman "bagaimana ya caranya menjadikan environmentalism concern semua orang?" Bukan hanya concern - orang-orang WALHI saja?

Mungkin kita perlu mencoba untuk berpikir dan berbuat lebih sederhana. satu contoh terobosan berpikir terlahir di meja makan di Mataram tentang cara "memberdayakan perempuan" melalui upaya mendorong agar kebijakan di Nusa Tenggara lebih peduli perempuan (bahasa kerennya lebih gender sensitif). Hingga saat ini RSS (rumah sangat sederhana) yang dibangun pengembang dengan subsidi pemerintah) tak pernah memiliki dapur. Padahal kami yakin semua perempuan pasti menganggap dapur sebagai kebutuhan primer - karena mutlak diperlukan demi memelihara anak-anaknya dengan baik. Nah - mungkin - partisipasi dalam pembuatan kebijakan bisa dimulai disini - dimana setiap penghuni RSS - dilibatkan untuk menuntut adanya kebijakan yang mengharuskan para pengembang menyertakan dapur yang layak ketika membangun RSS. Atau, menuntut agar pemerintah daerah memonitor dan memastikan agar para pengembang mewujudkan fasilitas umum berupa taman bermain bagi anak secara baik dan benar. Adalah hak setiap keluarga, terlebih hak setiap perempuan Indonesia untuk memiliki rumah dengan dapur yang sehat, dan lingkungan yang aman bagi anak-anak untuk bermain. Pemenuhan hak ini penting dan perlu.

sayangnya, alih-alih memikirkan bagaimana kebijakan daerah - dapat mendorong pemenuhan kebutuhan-kebutuhan praktis namun fundamental bagi kaum perempuan yang selama ini terabaikan - beberapa kabupaten di Nusa Tenggara konon malah membuat anggaran belanja daerah (yang ironisnya di'pasarkan' sebagai budget yang sensitif gender) yang mencakup biaya jalan-jalan para ibu Camat untuk studi tour ke Jakarta. Tentulah ini jauh panggang dari api. Tak perlulah para ibu Camat ini mendapatkan subsidi dari anggaran pemerintah daerah untuk jalan-jalannya. Jika ini yang terjadi - bagaimana kita dapat mendorong terwujudnya penghapusan kemiskinan di Indonesia?

Masih banyak PR bagi kita semua untuk mendorong agar kebijakan-kebijakan yang ada di negeri ini memenuhi kebutuhan orang biasa, untuk hidup secara wajar dan bermartabat sebagai warga negara yang demokratis.

Saturday, January 21, 2006

Bligo Si Winter Melon

Masih berkisar oleh-oleh dari Jambi....

Persis di tikungan sebelum menyeberang sungai Batanghari dari arah pusat kota Jambi- didepan sebuah gubug reot seorang kakek menunggui jualannya berupa beberapa buah labu bligo (Benincasa hispida). Sudah lama sekali ku tidak pernah lagi melihat buah ini. Buah labu ini jika sudah tua tertutup oleh bedak putih - sehingga sering jika anak gadis berbedak terlalu tebal akan diledek sebagai bligo. Dulu di desa-desa Jawa buah putih lonjong ini terjuntai dari pohon-pohon tinggi yang mengitari tepian kebun dan pekarangan. Tanaman ini tak makan ruang - ditanam di pokok-pokok pohon tinggi dia akan menjalar keatas mencari matahari. Jika buahnya sudah banyak bergelantungan kelihatan lucu juga. Bisa saja pohon sawo, pohon trembesi atau pohon mangga tampak seolah-olah berbuah bligo yang putih dan besar ini.

Orang Jawa dulu biasa mengolah buah ini menjadi sayur bobor, dengan bumbu ketumbar dan kencur yang terasa sedikit menonjol dengan sedikit tempe yang sudah rada asam, dan santen yang rada encer. Ditambah tempe goreng dan sambel tomat, hmmm enaak... Bligo juga digunakan untuk mengobati panas dalam. Di Jambipun menurut si kakek - buah labu ini digunakan untuk mengobati panas dalam dan dapat dimasak menjadi sayur bening. Yang mengagumkan adalah bahwa hingga kini buah labu ini masih dijual di Jambi, hal yang tak pernah dijumpai di Jawa. Kalau kita kedesa-desa mencari buah labu ini juga sulit sekali.

Orang Cina, masih sangat menyukai labu ini. Apalagi menjelang tahun baru seperti sekarang ini. Bligo dijadikan manisan - namanya "manisan tangkwe", disajikan sebagai kudapan bagi sanak saudara dan juga sesajen bagi leluhur - menyimbulkan harapan agar tahun mendatang menjadi tahun yang membuat hidup lebih manis sejahtera.

Hingga kini orang Cina dan orang Vietnam yang telah berdiaspora penjuru dunia masih menghargai bligo (yang di Amerika dinamakan winter melon karena putih seolah diselimuti salju) ini. Sebagai sayuran maupun bahan manisan, dia masih terus hidup sebagai komoditi yang cukup prima. sampai sampai "Program Sustainable Agriculture Research and Education University of California" membahasnya dengan cukup mendalam sebagai komoditi yang pantas dibudidayakan karena banyak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan "Certified Farmers Market". Alasanya: karena imigran Asia Timur dan Tenggara jumlahnya cukup banyak di Amerika. Tengok www.sarep.ucdavis.edu/cdpp/stockton.htm. Sedangkan universitas lain di websitenya http://www.hort.purdue.edu menyebutnya winter melon atau fuzzy melon dan mengisahkan bahwa "the immature fuzzy melon fruits have a delicious flavor, stronger and more distinctinve than that of immature summer sqash".

Karena di desa kampung halamanku bligo sudah mengalami kepunahan lokal, maka kubelilah satu bligo yang tua (harganya Rp. 5000,-) untuk kutanam di pekarangan. Ini bligo istimewa - karena untuk sampai ke desa Sekaralas di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu - dia terbang lebih dulu bersamaku kembali ke Jakarta, transit lima jam sebelum ke Makasar - kembali ke Jakarta dua hari kemudian, baru ke bogor dan kemudian ke Jogja. Minggu depan dari sini dia baru akan tiba di calon rumahnya yang baru. Semoga kelak dapat berkembang biak memenuhi pohon-pohon pinggir desa, menganekaragamkan bahan pangan, memperkaya apotek hidup, dan siapa tahu suatu ketika akan dapat ikut mempermanis perayaan imlek di berbagai kota Indonesia sebagai "manisan tangkwee" kwalitas terbaik dan bahkan diekspor ke Amerika.

Thursday, January 19, 2006

Batik Jambi Akankan Punah Berikut Hutan Sumatra?

Senin lalu aku ke Jambi untuk yang pertama kalinya. Dalam kesempatan itu kupergi ke seberang sungai Batanghari - ke kampung dimana banyak keluarga membuat batik. Meskipun teknik pembuatannya sama dengan batik di Jawa, namun motif batik disini khas sangat khas. Ornamen yang cukup dominan adalah durian pecah dan gambar kapal - sepertinya memang merefleksiakan alam Jambi dimasa lalu. Durian merupakan buah yang banyak terdapat disini, juga sungai Batanghari cukup besar untuk diarungi kapal-kapal kecil dimasa lalu.

Pada saat mengamati keindahan batik-batik itu - kuperhatikan di dinding ruang pamer terbentang beberapa helai batik yang memiliki warna sedikit beda, tidak seterang batik-batik yang dipajang dietalase, namun tetap sangat indah dan menarik. Ternyata itu adalah batik-batik tua yang dibuat dengan menggunakan pewarna alami - yaitu pewarna yang dibuat dari berbagai getah buah dan tanaman yang berasal dari hutan disekitar Jambi dahulu. Sayang, sekarang semua bahan itu tak ada lagi, pohon-pohonnya sudah banyak yang punah, dan tokoh-tokoh masyarakat tua yang tahu bagaimana mengumpulkan dan memanfaatkannya juga sudah tidak ada lagi.

Satu lagi tradisi kebudayaan asli Indonesia yang cukup tinggi, tererosi oleh jaman tanpa ada yang memperhatikan dengan layak. Kubermimpi - ingin mencoba melacak pohon-pohon yang menghasilkan bahan pewarna ini dan mencoba merevitalisasi seni membatik di Jambi ini. Mungkinkah dapat ditelusuri apa spesies pohon-pohon ini? Barangkali masih dapat ditemukan di Taman Nasional yang tak jauh dari Jambi dimana Suku Anak Dalam tinggal?

Menjaga dan menyempurnakan ekspresi kebudayaan lokal seperti batik Jambi menurutku penting. Karena hal-hal seperti inilah yang akan memberi ciri khas yang spesial bagi suatu masyarakat - diantara libasan globalisasi. Diane Coyle - seorang ahli ekonomi yang mengupas masalah globalisasi dan kapitalisme baru - mengungkapkan bahwa kedepan uang bukan merupakan kapital yang terpenting untuk dimiliki oleh seseorang. Capital yang terpenting justru merupakan human capital dengan kemampuan untuk memberikan perspektif yang unik kepada dunia. Ketika masyarakat pembatik Jambi meninggalkan ketrampilan khasnya untuk mengelola berbagai tumbuhan menjadi pewarna batik, yang menghasilkan tekstur warna yang sangat khas pula - mereka sesungguhnya secara tidak sadar sedang 'membunuh' sebagian dari kekayaan human capital yang bersifat khas dan bisa menambah daya saing dalam dunia yang telah menjadi kecil akibat globalisasi ini.

Semoga jenis-jenis tumbuhan pewarna batik ini belum punah sama sekali, masih bisa ditemukan dan dibudidayakan kembali bersama dengan revitalisasi hutan di pulau Sumatra. Semoga revitalisasi hutan dan revitalisasi batik Jambi dapat saling memberi inspirasi dan energi untuk bertahan dengan kokoh - tidak terlibas oleh globalisasi - melainkan dapat berdiri kokoh dengan karakter yang kuat dan spesial sehingga mampu terus beradaptasi dan berkembang tanpa kehilangan ciri khasnya.

Saturday, January 14, 2006

Trembesi dan Globalisasi

Aku suka pohon trembesi. Banyak sekali kenangan manis masa kecil bersamanya.... mengumpulkan buah hitamnya yang telah jatuh ketanah..dijemur, lalu ambil bijinya, sangrai.... hmmmm lebih nikmat dari kwaci...
Aku rindu pada pohon trembesi --- saking rindunya kucari namanya di google ---- tak dinyana banyak sekali informasi tentang trembesi disana:

Simak ini puisi Prasetyo (yang rupanya ditulis pada waktu lagi kuliah di UIOWA ini (kudapat dari www.uiowa.edu/~iwp/SAMPLES/SAMPLESfall2002/Prasetyo pdf)

TREMBESI
Pitch-black and towering
Birds making nests on the strength of her arms.
Grand castle for red ants and lizards
An architecture growing from its own shadow.
The day is about to collapse. Her weather-beaten joints
Grow weaker and twisted.
With bitter seeds of karma hanging
She learns to love all unworthy of love.
Conversing with ghosts all night
Underworld dwellers, eyes awash with milk
Whose breasts were once full of January rain
And whose nipples erect skyward licked by the sun.
She used to roam abhorring stars
Only walking to kill distance, forgetting directions
Not thinking of arriving anywhere
Not entering anyone’s paradise
And shouting to those who linger, falling
In God:
“Eternal life beheads monuments
or buries itself into underground extinction!”
They’re angry and curse her to vanish
Absorbed into the black tree’s cambium:
The king crowned with a kite-frame
Tree rings and their prophecies.
Tower of prayer-call in the distance. Birds arrive
Pecking the dusk’s last light with their golden warbles.
The peasants hurry home to prepare fire and pray.
A visage, a pattern from a simple surah
I scratch the body that groans in the trunk.
Note:
Prasetyo Page 4 9/17/02
Trembesi: the name of a tree (Pipturus nicanuss).
Surah: a chapter in the Qu’uran.

Kedengarannya ini pohon yang sama dengan yang selalu berhasil memukauku, batangnya gagah berwarna hitam, daunnya rindang membentang. Tapi kok dia bilang namanya Pipturus nicanuss ya? Mungkin dia keliru --- karena kutahu pasti Trembesi adalah Samanea Saman. Ataukan ada dua nama? Atau mungkin lebih dalam bahasa latinnya?

entahlah yang jelas - Trembesi itu indah... Singapore butuh banyak sekali pohon ini untuk merindangi Jalan-jalannya --- Orchard Road ---menjadi lebih manusiawi karenanya. Di Jakarta, pohon ini juga mulai banyak dipakai dibeberapa kawasan - disekitar BEJ misalnya.

Di http://tropilab.com/raintree.html benih pohon ini dijual dalam dua macam kantong. Kantong berisi delapan biji trembesi, dijual US $ 2,5 saja, sedangkan kantong yang berisi 100 biji berharga US $ 25. Sedikit lebih murah. Dia dianggap pohon landscape yang berharga.

Di Indonesia bagaimana?

Kalau kita ke desa-desa sekarang ini tak ada lagi anak kecil yang mengumpulkan bijinya - tak perlu karena sudah banyak Chiki... Pohonnyapun tak banyak dihargai, kayunya murah - biasanya digunakan untuk membangun rumah orang miskin di kampung. Ada satu perkecualian - di hutan milik masyarakat di Kabupaten Wonogiri yang telah mendapatkan sertifikasi ecolable dari LEI - petani bisa dapat harga bagus untuk kayu trembesinya. Pembeli mereka adalah artisan seni patung bali - yang dituntut untuk menggunakan kayu yang dipanen dengan 'sustainable' dipanen dengan berkeadilan lingkungan dan juga sosial.

beberapa waktu lalu kupulang kampung. Masih banyak pohon trembesi disana. Iseng-iseng berdua iparku, kuajak anak-anak desa mengumpulkan buahnya - membuat snack home made darinya.. Ternyata, kini biji trembesi sangrai - menjadi novelty bagi mereka. Dulu bagi kami orang tuanya itu snack yang selalu ada pada musimnya...

Pohon trembesi tumbuh dengan sangat mudah di Jawa. Tak butuh banyak perawatan, tak butuh input kimia macam-macam. Bahkan dilahan tandus berbatu gampingpun dia tumbuh dengan baik. Tak jarang dibawahnya akan menggelegak sumber air kecil sebening kristal - pemenuh dahaga bagi penggembala kerbau di kawasan pinggir hutan yang kehausan. Itu Dulu.. kini pohon trembesi pinggir hutan tak ada lagi. Bukan karena trembesinya yang hilang. Bukan! Yang hilang adalah hutannya. Berikut hutan ikut pula si sumber air mundur dari permukaan.

Baru sedikit orang di Indonesia yang memanfaatkan pohon ini dengan optimal. Kecuali pematung Bali, belum banyak yang kreatif mengantarnya menjadi bernilai bagi "sustainable livelyhood" warga desa. Tak banyak yang berupaya untuk menanam, dan merawatnya dengan kesadaran bahwa dia akan bisa banyak bermanfaat. Tidak seperti pohon jati misalnya...

Terpekur aku dengan sekarung biji trembesiku - sambil membayangkan jika saja aku ini pemilik bisnis http://tropilab.com/raintree.html yang barusan aku google itu ---- pastilah aku kaya. Bayangkan saja - AKU PUNYA RIBUAN BIJI SAMANEA SAMAN! Lama lama sebel juga merasakan betapa kami ini ketinggalan diarena global - padahal kita punya semuanya. Untung - selagi sebel makin meradang - mbok Raji tetangga tuaku lewat - girang dia melihat ada orang mau mengumpulkan biji trembesi - dia mengajari kami untuk membuatnya menjadi tempe. TERNYATA ENAK JUGA LOH. Tapi kemudian kujadi semakin meradang - Bayangkan saja: Andaikata kita siap globalisasi - kita bisa jadi penjual tempe trembesi terbesar di dunia! APA BUKAN PRESTASI?

Friday, January 13, 2006

Perempuan Desa Paling Siap Menyongsong Globalisasi

Siapa di Indonesia yang paling siap menyongsong globalisasi secara kompetitif?

Menurutku perempuan desa yang menjadi TKW itulah yang paling siap. Selama bertugas keluar negeri - aku tak pernah henti kagum pada mereka ini. Daya juang dan daya adaptasinya luar biasa. Mereka tak ragu sama sekali untuk keluar dari "comfort zone" mereka, menantang dunia yang sebenarnya "opaque" untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Dan, lebih sering mereka berhasil daripada gagal. Padahal segala sesuatu, mulai dari peraturan perundang-undangan dan norma-norma sosial hampir seluruhnya tidak menguntungkan baginya. Mereka belajar bahasa, bejalar beradaptasi pada budaya setempat, membangun jaringan pendukung, jeli mencari peluang. Taruhlah ibu Sri. Seorang perempuan paruh baya dari Temanggung yang sekarang sudah menetap di Swiss - yang kutemui November tahun lalu. Awalnya dia TKW, namun akhirnya bisa survive sebagai tukang pijet - yang sangat dicari jasanya. Berbekal HP tak pernah sepi hari-harinya dari kerja - semua langganannya didapat dari promosi mulut ke mulut oleh pelanggannya, dan dia selalu mendapatkan cash in hand.

Pernah suatu Sabtu sore dimusim semi dua tahun lalu, ketika aku jalan-jalan di Park di London - dikejutkan oleh celoteh dalam bahasa Jawa medhok - ketika ku menoleh - eh ternyata seorang gadis Jawa lagi asik ngobrol di HP. Kutunggu ngobrolnya usai lalu kudekati dan ajak dia berbahasa Jawa. Sambutannya sungguh hangat, bersua orang setanah air yang baru merupakan kebahagiaan baginya. Ternyata dia bekerja kepada keluarga arab kaya sebagai Nanny, bahasa Inggrisnya bagus, bahasa Arabpun bisa. Dia memberiku berbagai tip on how to survive in London. Mengasyikkan!

Kupikir-pikir. Aku yang klas menengah, yang punya segala privilese untuk ber"jibaku" di medan global - malah kurang nyali dibanding mereka. Meskipun sejak kecil bi-lingual, punya pendidikan dan pengalaman yang cukup, rasanya masih ada sedikit rasa miris kalau harus bener-bener terjun ke arena global - "On their turf, in their terms". Banyak dari kita yang besar di LSM di Indonesia, lebih fasih berglobalisasi dari home base kita - 'cushioned' by international funding, dan juga oleh network pendukung yang internasional pula". Tak pernah harus bener-bener survive sendiri di suasana yang asing.

Wednesday, January 11, 2006

Dunia Ini Datar

DUNIA INI DATAR

Ya begitulah kata Thomas Friedman - dalam bukunya 'The World is Flat" - yang mengupas bagaimana perkembangan teknologi saat ini memungkinkan dunia untuk menjadi datar. Tak peduli di dan dari negeri manapun anda, jika anda memiliki akses kepada technologi, skill dan kemampuan berkomunikasi lewat kesepahaman bahasa, maka anda akan bisa berkompetisi secara setara dengan individu dari negara manapun di dunia. Tak peduli anda berasal dari negara berkembang ataupun negara maju. Tak peduli anda anak Indonesia atau anak Amerika atau Uni Eropa.

hanya saja - jika dicermati - kompetisi job di pasar global ini hanya flat bagi masyarakat negara berkembang yang memiliki keistimewaan diatas: yaitu mereka yang memiliki akses pada teknologi, menguasai pengetahuan dan skill, serta menguasai bahasa internasional. Bagi mereka-mereka yang tidak mampu meraih hal-hal itu - maka menurut saya dunia jadi semakin njomplang! Artinya bagi kebanyakan warga negara Indonesia saat ini, dunia semakin sedikit memberikan kesempatan untuk maju - anda semakin terjepit, semakin sulit cari kerja, semakin terpinggirkan dan terpuruk. ITU JIKA ANDA TAK BERPIKIR KREATIF!

Apa yang bisa anda lakukan? Menurut Friedman - anda mesti berusaha menjadi "Untouchable" - menjadikan job anda tak bisa disentuh dan tak bisa direbut oleh siapaun, artinya menjadikan diri anda pemenang dalam kompetisi global ini. Ada yang bilang berkompetisi didunia global itu seperti mengayuh perahu disungai berarus - kalau anda tak melakukan apa-apa ya anda akan bergerak mundur. Jadi dalam kompetisi global - anda harus terus menerus belajar hal baru, terus menerus menyempurnakan skill, dan mampu beradaptasi secara sangat luwes. Mungkin dengan begini anda bisa menjadi "Untouchable" Mungkin dengan begini tak ada yang bisa merebut job anda.

Lagi-lagi Friedman (lagi baca buku dia nih) - mengatakan ada 4 jenis untouchable ini: mereka adalah (1) orang yang sangat special (seperti Bill Gates, Sting, atau Beckham - dikit skali yang bisa sperti mreka); (2) orang yang spesialis - mereka ini digambarkan Friedman adalah para lawyer spesialis, spesialis bedah otak, spesialis desainer computer, dll. Menurut saya: orang Indonesia banyak yang bisa jadi spesialis juga sebenarnya - bukan dibidang teknologi tinggi - tapi di bidang karya seni budaya, kita punya ibu-ibu Nusa Tenggara yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan tenun, penggunaan warna alami, misalnya. Karya mereka sebenarnya sudah berevolusi menjadi suatu karya seni tinggi - yang tak dapat dijiplak oleh siapapun - tidak juga oleh industri tekstil pencuri motif (motif mungkin dapat dicuri) tapi "market niche" untuk tenun asli buatan tangan itu tak akan pernah jenuh (asal bisa beradaptasi dalam "menjual"nya di pasar global. Banyak lagi hal lain yang dapat dikembangkan sebagai spesialisasi di bidang seni dan budaya Indonesia ini; (3) orang yang anchored - yaitu orang yang memang harus ada disuatu tempat - seperti ahli kecantikan, waitress restoran, dsb - kerja mereka tak dapat ditranfer kedalam bentuk digital dan dikerjakan dari tempat lain - jadi cukup aman juga; (4) orang yang 'really adaptable" - yang terus belajar skill baru, yang sangat dapat menyesuaikan diri 'what you can do and how you can adapt and how you can leverage all the experience and knowledge you have when the world goes flat - THAT IS THE BASIC COMPONENT FOR SURVIVAL - Kata Friedman...

Jadi, DUNIA YANG DATAR sebenarnya tak hanya menyediakan kesempatan bagi anak-anak kaum elit Indonesia yang mampu sekolah mahal untuk meraih - akses teknoloki, pengetahuan, skill dan berbahasa majemuk - tapi juga terbuka bagi berbagai masyarakat yang masih "anchored" di dalam konteks kebudayaannya yang khas - karena dalam hal ini mereka adalah spesialis. Hanya saja mereka akan harus sangat mampu beradaptasi dan terus menerus belajar hal baru - tanpa membuang warisan seni budaya darimana mereka berasal (karena ini justru adalah modal utama untuk maju).

Pertanyaannya - siapa yang bisa membantu mereka untuk beradaptasi - karena beradaptasi ini akhirnya bermakna - harus juga mampu mengakses teknologi, pengetahuan/skill dan berbahasa majemuk? Mengapa? karena semua ini akan dibutuhkan untuk dapat "mengeksploitasi niche spesialis" yang mereka miliki di pasar global.... Mungkinkan pemerintah Indonesia bisa melakukannya? Ataukan LSM Indonesia? Mudah-mudahan akan muncul social entreprenuer yang dapat membantu proses ini...

BANALITAS PEMBERITAAN ISU LINGKUNGAN DI MEDIA MASSA MAINSTREAM∗
Oleh: Chandra Kirana

“If Sartre worried about the banality of evil, neoliberal post deficit platforms are presenting us with the evil of banality,” Simon Archer.

After you’ve had somebody say to you for the thousandth time, “How come we never hear about these issues in the media,” you start to realize that the media itself is an issue – Svend Robinson

Banyak keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam, ditentukan oleh pemenang polemik yang mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomi dominan, sementara itu sumberdaya alam semakin hancur. Pada akhirnya kehancuran ini ikut menyeret kehidupan manusia kedalam kesulitan-kesulitan riil yang tidak dapat diatasi semata-mata melalui keputusan-keputusan politik dan negosiasi-negosiasi yang didasarkan pada kepentingan ekonomi yang mendominasi panggung politik global, nasional, maupun local sekarang ini.

Sejatinya alam, tidak memiliki kebutuhan untuk dipolemikkan. Tidak ada kepentingan-kepentingan yang dipihakinya dan tidak ada negosiasi-negoaiasi yang menarik baginya. Selama fakta yang ‘keras’ ini tidak dipegang, meskipun mungkin banyak pihak memahaminya, maka akan selalu hanya ada ‘polemik’ tentang lingkungan tanpa tindakan nyata. Sementara itu bumi terus bergulir, melakukan berbagai ‘penyesuaian’ untuk mencapai equilibriumnya sendiri – dalam menghadapi berbagai katalis yang sadar atau tidak diciptakan oleh manusia melalui peradabannya.

Contoh isu lingkungan yang paling fenomenal adalah isu pemanasan global dan perubahan iklim. Sudah sejak lama para ilmuwan mengingatkan bahwa peradaban manusia yang berkembang begitu cepat paska revolusi industri, terutama keserakahannya mereguk energi fosil yang seolah-olah tanpa batas – mengganggu ekuilibrium alam – dan mengakibatkan pemanasan bumi. Pada gilirannya pemanasan bumi ini mengakibatkan perubahan iklim yang membawa berbagai dampak yang sangat serius bagi umat manusia.

Banyak sekali isu lingkungan lainnya yang penting untuk dipahami dan ditindak-lanjuti oleh publik melalui karya nyata sebagai warga negara dan warga dunia yang bertanggungjawab. Namun realitasnya sungguh sulit untuk mendapatkan pangsa media massa yang layak bagi informasi lingkungan. Paper singkat ini, mengupas beberapa alasan yang melatarbelakangi miskinnya pemberitaan tentang lingkungan, apa harga yang harus dibayar dengan kurangnya informasi tentang lingkungan yang bias dipertanggungawabkan integritasnya, dan menyajikan beberapa contoh upaya yang ada untuk mengangkat isu lingkungan sehingga bisa diketahui, dipahami dan ditindaklanjuti oleh publik. Pada akhirnya paper ini secara sepintas membandingkan jurnalisme lingkungan di AS dengan jurnalisme lingkungan di Indonesia.

Terhalang kepentingan ekonomi dan kekuasaan industri

Media massa – yang merupakan interface, antara hasil karya jurnalistik dengan publik sesungguhnya tidaklah bebas kepentingan. Dari sudut pandang idealis, jurnalisme yang baik dapat membantu publik untuk mengerti apa yang sedang berlangsung disekelilingnya – sehingga dapat ikut aktif dalam proses pengelolaan keputusan-keputusan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak - “Journalism is an ethical practice because it tells people what matters and helps them determine what they should do about it,” demikian ungkapan Ed Wasserman. Sementara itu Richard Reeves, menyatakan bahwa “Real news is the news you and I need to keep our freedom.”

Mengikuti idealisme journalistik ini, tumbuh harapan bahwa jurnalisme akan mampu menjalankan peran penting didalam menentukan kualitas demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Bill Moyers sebagai berikut: “I believe democracy requires ‘a sacred contract’ between journalists and those who put their trust in us to tell them what we can about how the world really works.” Tentunya ini juga berlaku dalam demokratisasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

Jika melihat idealisme para wartawan dan pelaku jurnalistik diatas, masih mungkin ada harapan untuk bergulirnya polemik mengenai lingkungan yang mengemukakan fakta-fakta ilmiah mengenai kondisi dan evolusi lingkungan secara obyektif. Ini pada gilirannya dapat ikut digunakan sebagai landasan pembuatan keputusan yang berpihak pada kesejahteraan umat manusia dan kelestarian lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataannya upaya untuk menyajikan fakta dan kebenaran dalam berbagai polemik lingkungan sehingga dapat dinikmati oleh publik tanpa hambatan, sangatlah sulit.

Sebagai ilustrasi, mari kita tengok pengalaman Bill Moyers, jurnalis kawakan AS yang memenangkan Emmy Award untuk outstanding investigative journalism dari National Academy of Television Arts and Sciences – untuk hasil karya filmnya berjudul Trade Secrets. Karya ini mengungkap catatan arsip internal sejumlah industri kimia raksasa yang menyembunyikan informasi mengenai berbagai bahan kimia beracun yang ditemukan dalam produk-produk mereka dari para konsumen dan karyawan demi menjaga citra produknya. Arsip-arsip internal ini jelas mengungkap fakta – bukan opini – tentang kehadiran bahan-bahan kimia yang berbahaya. Dan penyembunyiannya mensinyalir hidupnya korupsi yang mendalam dan menyeluruh di kalangan industri Amerika serikat saat itu. Andaikata publik dan penentu kebijakan pemerintah mengetahui fakta-fakta tentang resiko kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran bahan-bahan kimia yang ditemukan, dapat dipastikan bahwa hukum dan peraturan Amerika Serikat menyangkut manufaktur bahan-bahan kimia akan jauh lebih protektif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Ketika film investigasi Trade Secrets akan ditayangkan, industry tidak tinggal diam. Mereka melakukan upaya counter campaign yang sangat gencar untuk mendiskreditkan Bill Moyers secara personal, dan melobi sekutu industri dalam kongres untuk menekan stasiun televisi PBS untuk tidak menayangkannya. Untunglah PBS bertahan terhadap tekanan itu dan tetap menayangkan filmnya. Setahun kemudian Trade Secret memenangkan Emmy Award. Sebuah kemenangan bagi jurnalisme idealis sekaligus pemberi semangat bagi mereka yang berupaya menjaga kesehatan lingkungan dan manusia.

Kasus Trade Secret ini tidak berdiri sendiri. Berkali-kali terungkap bahwa industri berusaha menutup-nutupi berbagai persoalan lingkungan dengan melakukan kampanye pendiskreditan terhadap kualitas kajian ilmiah tentang lingkungan yang dinilai dapat mengusik bisnis mereka. Baru-baru ini misalnya, ExxonMobil meluncurkan suatu kampanye public relations secara terselubung untuk menyebarkan keraguan mengenai kesahihan kajian-kajian ilmiah tentang pemanasan global. Mereka mendanai pelobi-pelobi untuk memberi disinformasi kepada publik dan para politisi tentang perubahan iklim. Perusahaan ini juga meluncurkan kampanye iklan yang menyebarkan informasi bahwa masih terlalu sedikit yang diketahui secara pasti tentang pemanasan global untuk mendasari aksi pencegahan dan penanggulangan. Tujuan akhir mereka adalah agar pemerintah tidak bertindak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Para ilmuwan telah mengangkat isu ancaman perubahan iklim sejak 1980an, dan kini bahkan Pentagon-pun cemas. Sebuah laporan rahasia dari Pentagon yang ditutup-tutupi oleh para petinggi pertahanan AS, memperingatkan bahwa kota-kota utama di Eropa akan tenggelam oleh naiknya permukaan laut, dan Inggris akan menjadi seperti Siberia dalam kurun waktu menuju 2020. Ironisnya – Protokol Kyoto – yaitu konvensi internasional yang lahir sebagai upaya untuk menanggulangi perubahan iklim, hingga kini masih terseok-seok mengalami berbagai ganjalan dalam proses implementasinya di sejumlah negara. Konvensi ini kalah oleh berbagai kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Sebagaimana diungkap oleh Michael Grubb, et. al. dalam bukunya “The Kyoto Protokol: a Guide and Assesment” – bahwa “kerjasama dan aksi untuk membatasi perubahan iklim sangatlah kompleks karena respon yang serius berpotensi untuk menjangkau jauh kedalam kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik negara-negara”.
Lawan yang dihadapi oleh para pejuang lingkungan hidup dalam polemik sekitar isu perubahan iklim – adalah industri minyak, gas dan pertambangan. Industri ini memiliki kekuasaan yang luar biasa dipanggung ekonomi global, dan bersama dengan industri otomotif dan energy, mereka berhasil menghadang implementasi kesepakatan Kyoto selama lebih dari satu dekade. Meski Eropa sejak tahun 90an telah mengembangkan langkah-langkah serius untuk menurunkan tingkat emisi carbonnya, dengan semakin banyak memberi pangsa pada energi alternatif, tidaklah demikian halnya di Amerika Serikat. Delapan tahun setelah kesepakatan Kyoto dicapai – minyak bumi dan batubara tidak memiliki saingan yang berarti sebagai sumber energi di negeri ini, bahkan di tahun 2005 menurut para analis industri terdapat 68 pembangkit energi batubara yang sedang dibangun. Detroit membuat mobil yang menghabiskan bahan bakar rata-rata lebih banyak dibanding mobil-mobil yang diproduksi dalam dua dekade sebelumnya, dan presiden Amerika maupun oposisinya tidak pernah membahas pemanasan global.
Strategi yang digunakan oleh industri sangat sederhana: memperumit isu sehingga warga negara (para pemilih) tidak tergerak untuk menjadikan isu perubahan iklim sebagai agenda utama. Pendekatan ini sangat berhasil; sepanjang 1990an ketika negara-negara maju lainnya mulai melakukan perubahan, koalisi industri bahan bakar fosil berhasil membuat jurnalis Amerika memperlakukan berita mengenai pemanasan global yang kian parah sebagai cerita si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.
Konsolidasi dan konglomerasi media diikuti trivialisasi berita

“Information – forget understanding, forget analysis, forget interpretation, forget wisdom – is entertainment. This is known to the media! - Frank Rich.

Di masa Orde Baru, kita mengenal pemberangusan dan pembreidelan media massa. Pada masa itu, konflik lingkungan sangat sedikit diberitakan. Pemasungan ini menyebabkan berita lingkungan tak sempat lolos keranah publik. Kini pemberangusan oleh negara seperti ini tidak terjadi, dan kebebasan media masa lebih terjamin. Walau demikian, berita lingkungan tetap tidak mendapatkan porsi yang selayaknya. Salah satu penjelasan bagi gejala ini, adalah bahwa meskipun kini outlet media massa bertambah, namun kepemilikannya sebenarnya semakin langsing akibat proses konglomerasi dan merger berbagai media kedalam satu kelompok. Ini memungkinkan media masa untuk melakukan cross-marketing bagi produk-produk mereka, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Proses ini juga meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik korporasi dan pengiklan, namun mengurangi keragaman dan kedalaman berita yang dapat dinikmati oleh publik. Pada tahun 2000, hampir 90% media AS dimiliki oleh hanya 5 korporasi, dan konsentrasi kepemilikan ini masih berlangsung dengan konglomerat seperti Eisner, Murdoch dan Newhouse saling bersaing.

Gejala seperti ini merupakan fenomena media massa global, menimbulkan kerisauan tentang nasib kepentingan publik dalam peliputan media massa sebagaimana diungkapkan oleh Mark Crispin Miller, dalam artikelnya “Whats Wrong With This Picture?” dalam The Nation, January 7, 2002 berikut “Dari semua konsekuensi kartel (media) bagi masyarakat dan budaya Amerika, yang paling parah adalah pengaruhnya yang korosif pada jurnalisme. Dibawah AOL Time Warner, GE, Viacom et al., berita – dengan beberapa pengecualian, tak lebih merupakan versi lain dari hiburan yang dipasarkan secara nonstop oleh kartel mereka. Ini bukan hal baru – tapi skala raksasa dan penguasaan yang menyeluruh oleh konsentrasi penguasaan korporasi menjadikan dunia tempat yang lain. ….divisi media di kartel media ini tampaknya bekerja melawan kepentingan publik – untuk kepentingan induk perusahaan mereka”(terjemahan bebas).

Saat ini, informasi dan pengetahuan yang disebarkan oleh media massa kepada publik didominasi oleh hiburan dan iklan. Banalisasi jurnalisme di media massa mainstream ini bisa dilihat terjadi juga dalam perubahan wajah KOMPAS, dimana kini satu bendel penuh yaitu KLASIKA hanya berisi iklan. Kadang ini masih ditambah dengan bendel SOROTAN yang membahas kategori produk tertentu seperti otomotif, electronic, property, dsb, yang pada hakekatnya juga tak lebih dari iklan. Sedangkan bendel-bendel lainnya juga tidak ada satupun yang bebas dari iklan. Ini merisaukan, mengingat KOMPAS bagi banyak orang merupakan tolok ukur media masa yang serius dan berbobot di Indonesia – jika inipun tak punya rubrik harian yang tetap untuk lingkungan, bisa dibayangkan miskinnya pemberitaan lingkungan di media massa yang lain.

Akan menarik untuk mengetahui seberapa besar kontribusi iklan pada pendapatan media massa di Indonesia, karena ini akan memberikan gambaran yang bagus tentang siapa sebenarnya yang menentukan menu informasi yang kita nikmati lewat media massa sekarang ini. Dalam sebuah interview di tahun 2000, Mark Dowie, penulis buku “Losing Ground: American Environmentalism at the Close of the Twentieth Century” yang dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan Pulitzer, menyatakan bahwa ketika itu 99% pendapatan media broadcast di AS berasal dari iklan, sedangkan media cetak 65-70%. Menurutnya media broadcast komersial tak lebih dari mesin iklan. Lebih jauh diungkapkannya bahwa 70% dari pengiklan TV di AS berasal dari 100 korporasi terbesar di negeri itu. Jadi TV dikendalikan oleh periklanan korposasi yang merayu konsumen untuk menonton iklan mereka. Menurutnya, adalah naïf untuk menganggap TV sebagai medium untuk mengkomunikasikan gagasan, pemikiran, nilai-nilai dan politik.

Akibat dari situasi ini, isu-isu lingkungan sulit masuk ke media massa mainstream karena tidak dapat mendatangkan uang. Para jurnalis lingkungan dihadapkan pada situasi dimana tempat kerja mereka bukan lagi menjadi instrumen untuk memproyeksikan gagasan dan informasi nyata yang independen. Media dimana mereka berada kini lebih merupakan instumen sales.
Langkanya informasi lingkungan yang reliable di media massa mainstream menggerogoti kepercayaan publik

“What suffers in the atmosphere of immediacy is analysis. What suffers in the search for speed is depth. The media in the wealthy world are becoming increasingly simplistic, superficial, and celebrity-focused,”laurie Garett

Menyajikan journalisme jujur dan faktual, yang membantu publik membuat pilihan-pilihan dengan baik, kian hari semakin sulit. Menurut Bill McKibben, wartawan lingkungan kawakan yang menulis “The Death of Nature, isu tersulit untuk dilaporkan zaman ini mungkin adalah percepatan kerusakan lingkungan. Beliau mengungkapkan bahwa banyak kebijakan pengelolaan lingkungan, dalam kenyataannya memungkinkan terwujudnya aksi vandalisme terhadap air, udara, tanah, dan laut. Andaikata peraturan-peraturan ini menjadi lebih baik dan bisa ditegakkan secara tegas sekalipun, hanya sebagian saja persoalan lingkungan yang akan bisa diselesaikan. Sementara itu, banyak persoalan sudah terlanjur demikian parah dan membawa bahaya yang tidak mungkin dicegah lagi – seperti misalnya persoalan perubahan iklim.
Kompleksitas isu-isu lingkungan seringkali melibatkan ilmu pengetahuan yang canggih dan rumit. Apakah itu isu yang berkaitan dengan pencemaran air, tanah dan udara oleh pertanian berbasis kimia, apakah itu isu anak-anak yang keracunan akibat emisi kendaraan bermotor yang mengandung logam berat timbal, ataukah isu erosi genetik yang pada gilirannya dapat menimbulkan berbagai kondisi alam yang tidak seimbang, hingga ke isu potensi dampak negatif bioteknologi pada lingkungan maupun kesehatan manusia – semuanya membutuhkan penguasaan ilmiah untuk menjelaskannya, apalagi untuk memperdebatkannya diarena publik ataupun diarena hukum. Kondisi ini sangat memperlemah posisi masyarakat awam dalam memperjuangkan kesehatan lingkungan yang notabene penting untuk kesehatan manusia – mereka seringkali terbentur pada fakta bahwa memperoleh pendapat ilmiah dari ilmuwan itu mahal.
Dalam sebuah buku berjudul “Trust Us, We’re Experts,” Sheldon Ramptom dan John Stauber mengungkap bagaimana berbagai korporasi didunia ‘membeli’ ilmu pengetahuan, dan bagaimana sebagian besar laporan ilmiah yang ditemukan di dalam media massa, tercemar oleh pembiayaan korporasi. Tentu tidak bias dikatakan bahwa jika ilmuwan dikontrak oleh suatu korporasi maka serta merta kerja ilmiahnya pantas diragukan, namun ada kalanya ilmuwan dibayar sangat mahal untuk memberikan pernyataan dan pendapat yang semestinya diberikan secara independen dengan memperhatikan integritasnya sebagai ilmuwan. Seperti kasus seorang ahli biostatistik yang menerima bayaran US 10,000 untuk menulis surat sepanjang delapan paragraph kepada jurnal American Medical Association, yang membantah hubungan tembakau dengan kanker. Surat itu dimuat di dalam jurnal kesehatan yang bergengsi ini, dan si ahli tidak mengemukakan fakta bahwa dia menerima bayaran sangat tinggi untuk menulisnya.
Besarnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan dalam jurnalisme saat ini, serta kekompleksan ilmiah dari isu-isu lingkungan bisa jadi menyebabkan semakin sulitnya ditemukan polemik tentang lingkungan yang berkualitas di media massa. Dalam buku “A Question of Trust,” Onora O’neil, seorang filsuf dan Principal dari Newnham Colledge, Cambridge University – Mengungkapkan bahwa media massa memiliki peran yang efektif untuk menantang praktek-praktek korporasi dan pemerintah yang kurang jujur. Namun pada saat yang sama berbagai survey menunjukkan bahwa saat ini jurnalis termasuk profesi yang dianggap kurang dapat dipercaya. O’neill menduga bahwa kini kita hidup dalam budaya saling curiga, karena warga negara tidak memiliki kepastian tentang integritas ulasan berita yang mereka terima melalui media massa. Contoh-contoh jurnalistik investigative yang menonjol, terlalu sering tercampur baur dengan liputan yang teledor, kegagalan untuk mengidentifikasi sumber, kegagalan untuk menggunakan sumber yang dapat dipercaya, headline yang tidak akurat, dan pengaburan analysis yang hati-hati dengan agenda partisan, pemasungan dan pengabaian suara-suara yang penting, dan pengrusakan terhadap reputasi individu yang semestinya mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
Lebih lanjut O’neill mengungkapkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, akses kepada informasi tidak terlalu merupakan masalah. Tantangannya adalah pada upaya mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Menurut O’neill integritas jurnalisme terlalu sering tenggelam dalam kompromi terhadap kepentingan finansial dan berbagai kepentingan lainnya. Dikatakannya bahwa seharusnya kebebasan pers disertai pula dengan sikap bertanggungjawab. Jurnalis selayaknya dituntut untuk memenuhi standar yang tinggi jika karyanya diharapkan memberi sumbangan yang berarti dalam menyampaikan informasi yang berguna dalam membantu warga negara membuat berbagai keputusan. Sesuatu yang sulit dipenuhi manakala media massa kini, sangat bergantung kepada dana iklan untuk survival mereka.

Jurnalisme dan peliputan berita lingkungan - “Perbandingan Amerika vs Indonesia”.

Di Amerika
Pemberitaan tentang lingkungan memiliki kans yang lebih besar untuk berimbang yang menjamin sumber-sumber independen untuk bersuara karena beberapa hal seperti:
- Adanya berbagai sumberdaya khusus yang diciptakan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pemberitaan lingkungan. Seperti misalnya:
- SEJ (Society for Environmental Journalists), yang merupakan asosiasi jurnalis lingkungan dengan visi “menciptakan masyarakat yang berpengetahuan melalui jurnalism lingkungan yang prima,” dan misi “meningkatkan pemahaman publik tentang isu lingkungan dengan cara meningkatkan kualitas, akurasi dan visibility peliputan berita lingkungan.” Dalam rangka mencapai visi dan misi ini SEJ memberikan dukungan penting bagi jurnalis dari semua media dalam upaya mereka untuk meliput isu-isu lingkungan yang kompleks secara bertanggungjawab. SEJ juga bekerja untuk meningkatkan kesadaran para editor, manager berita, penerbit, dan pengambil keputusan kunci lainnya tentang pentingnya peliputan berita lingkungan. Untuk mendanai kerjanya SEJ menerima dana dari berbagai sumber, termasuk sumbangan personal, korporasi media massa maupun dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Akan tetapi mereka tidak menerima dana dari korporasi non media, dari pemerintah, dan juga tidak dari NGO atau kelompok-kelompok lingkungan.
- IPA (Independent Press Association!), memiliki misi “meningkatkan power publikasi-publikasi independen untuk mendorong masyarakat yang lebih terbuka, adil dan demokratis. IPA memberikan dukungan teknis kepada publikasi independen yang membutuhkan, akses kepada modal, dan servis distribusi kepada lebih dari 500 terbitan di AS, termasuk didalamnya Mother Jones, Ms. Magazine, The Nation, Harpers dan lainnya.
- Banyaknya publikasi khusus lingkungan – yang didukung oleh peneliti-peneliti yang memiliki dedikasi tinggi, ditambah dengan ketrampilan jurnalistik yang tinggi pula. Dengan demikian informasi dapat sampai kepada publik, dalam bahasa yang mudah dipahami oleh awam, namun tetap dilandasi kualitas ilmiah yang tinggi. Contohnya: Newsletter Mother Jones; situs internet “Environmental Research Foundation,” yang khusus menyediakan berita dan sumberdaya lain untuk memperjuangkan keadilan lingkungan, melalui penyajian informasi tentang kesehatan manusia dan lingkungan.
- Kecenderungan NGO lingkungan AS yang memiliki gabungan orang-orang dengan dedikasi tinggi, kalau tidak mau dibilang fanatik yang mencakup ilmuwan/peneliti, campaigner-yang biasanya memiliki ketrampilan jurnalistik yang tinggi, dan pelobi politik yang berpengalaman. Disamping memiliki akses kepada informasi korporasi dan pemerintah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan NGO lingkungan Indonesia. Kombinasi sumberdaya ini dapat digunakan untuk menghadapi korporasi yang paling kuatpun pada tingkat kecanggihan yang sama tinggi.
Di Indonesia
Sumberdaya pendukung untuk wartawan lingkungan di Indonesia yang tersedia dalam Bahasa Indonesia di internet hampir tidak ada. Juga asosiasi jurnalis/wartawan lingkungan tidak saya temukan ketika menjelajahi internet pada tanggal 12 Agustus 2005 yang lalu.
Sementara itu, sedikit sekali ilmuwan yang tertarik untuk menjadi aktifis lingkungan di NGO-NGO nasional, dengan perkecualian NGO konservasi yang memiliki jaringan internasional seperti WWF, TNC dan CI. Akan tetapi meskipun memiliki ilmuwan-ilmuwan yang tak perlu diragukan, lembaga-lembaga yang disebutkan terakhir cenderung menghindarkan keterlibatan dalam polemik secara frontal, dan juga kurang memiliki ketrampilan berkampanye maupun menyampaikan opini melalui media massa. Ketika terjadi polemik antara Newmont Minahasa Raya (NMR) dengan NGO berkisar pencemaran di Teluk Buyat yang dituduhkan berasal dari tambang emas milik Newmont, semua NGO besar ini tidak memberikan pandangan. Padahal dengan jaringan internasional dan dana besar yang dimilikinya, mereka memiliki kemampuan teknis untuk memberikan pandangan yang lebih mencerahkan tentang konflik ini.

Disisi lain, NGO nasional dan lokal yang terlibat dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, pada awalnya mengaburkan informasi secara kurang bertanggungjawab dengan cara mengangkat ‘kasus minamata kedua di Teluk Buyat’ secara high profile di media massa. Walaupun dapat dipastikan bahwa tambang emas NMR memang mencemari Teluk Buyat, namun tuduhan Minamata ini sungguh tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Akibatnya – polemik sekitar pencemaran untuk waktu yang lama hanya berkutat disekitar isu mercuri dan penyakit minamata. Perkembangan kasus ini hingga kini semakin tidak jelas, dan tidak ada tindakan remedial terhadap lingkungan yang harus dilakukan oleh NMR. Polemik Teluk Buyat ini tidak berhasil menghasilkan keputusan dimana lingkungan dan warga negara diselamatkan. Yang terjadi semata-mata adalah pencemaran nama baik kedua belah pihak, baik NMR maupun NGO dimata awam. NGO – nasional dan local juga masih perlu meningkatkan kualitas jurnalistik dari informasinya yang dirilis kepada pihak media massa dan publik. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan di Indonesia, berjalan terus dengan dampak yang parah pada kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Sudah waktunya, jurnalisme lingkungan yang berkualitas dan berintegritas didukung untuk tumbuh oleh NGO Indonesia yang peduli pada lingkungan.