Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Thursday, January 26, 2006

Ketika Cakrawala menjadi "Scrambled"

Ngobrol tentang seorang teman - tentang kreatifitas - tentang kemampuan untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Tentang keteguhan, ketegaran dan ketelatenan dalam membangun kemungkinan-kemungkinan baru. Lama-lama diskusi sampai ke topik cakrawala. Apakah cakrawala pikiran, nalar dan imajinasi manusia dibatasi oleh ruang? ataukah waktu? Ataukah ada dimensi lain kedalam mana cakrawala kognitif seseorang dapat dikembangkan?

Taruhlah kepercayaan tibet kuno yang dikenal dengan Bon - yang meyakini bahwa pemanfaatan energi fikiran secara terampil - adalah kunci pemberdayaan. Untuk memahami dan mentransformasikan sifat energi, fikiran kita menciptakan apa yang mereka sebut sebagai 'api didalam hati'. Api ini adalah transformasi dari intisari energi fikiran yang siap untuk digunakan secara terampil melalui emosi, niat/intensi, dan aksi - dan melalui kekuatannya kita dapat melakukan berbagai 'miracle' dalam hidup kita sehari-hari (Paling tidak ini yang dijelaskan oleh Christopher Hansard - seorang praktisi Bon yang cukup terkemuka).

Saya suka konsep ini - mungkin karena kuterobsesi dengan urusan hati yang menyatu dengan fikiran. Kupikir saat ini kita di Indonesia sudah lupa caranya berfikir dengan hati. Padahal semua hal yang baik - lahir dari kemampuan ini. Orangtua ketika mendidik anaknya sering berfikir dengan hati. Bagaimana kita bisa kembali menjadikan default cara berfikir kita menjadi 'berfikir dengan hati' - ini tantangan yang penting untuk dapat mencapai dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Mengapa demikian? Karena jika kita terbiasa berfikir dengan hari - niscaya cakrawala terasa menjadi terang - mudah bagi kita untuk melihat dan memahami berbagai sudut pandang, mudah bagi kita berempathy dengan persoalan-persoalan yang dihadapi sesama manusia - ini tentu lebih memudahkan dalam membangun jembatan komunikasi - membangun kohesivitas sosial - mengbangun 'trust'/kepercayaan - semuanya menjadi modal yang sangat bernilai dalam memberdayakan human capital. Ada kawanku yang bilang bahwa menyelamatkan lingkungan - niscaya adalah upaya untuk menyelamatkan peradapan manusia - yang hanya akan bermakna jika peradapan itu punya hati - tanpa hati niscaya peradaban kita takkan berjiwa. Cakrawala manusiapun menjadi buram dan kabur - 'scrambled' - jika sudah demikian tentulah sulit bagi manusia untuk bisa berfikir jernih, berfikir dengan hati yang bening.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home