Batik Jambi Akankan Punah Berikut Hutan Sumatra?
Senin lalu aku ke Jambi untuk yang pertama kalinya. Dalam kesempatan itu kupergi ke seberang sungai Batanghari - ke kampung dimana banyak keluarga membuat batik. Meskipun teknik pembuatannya sama dengan batik di Jawa, namun motif batik disini khas sangat khas. Ornamen yang cukup dominan adalah durian pecah dan gambar kapal - sepertinya memang merefleksiakan alam Jambi dimasa lalu. Durian merupakan buah yang banyak terdapat disini, juga sungai Batanghari cukup besar untuk diarungi kapal-kapal kecil dimasa lalu.
Pada saat mengamati keindahan batik-batik itu - kuperhatikan di dinding ruang pamer terbentang beberapa helai batik yang memiliki warna sedikit beda, tidak seterang batik-batik yang dipajang dietalase, namun tetap sangat indah dan menarik. Ternyata itu adalah batik-batik tua yang dibuat dengan menggunakan pewarna alami - yaitu pewarna yang dibuat dari berbagai getah buah dan tanaman yang berasal dari hutan disekitar Jambi dahulu. Sayang, sekarang semua bahan itu tak ada lagi, pohon-pohonnya sudah banyak yang punah, dan tokoh-tokoh masyarakat tua yang tahu bagaimana mengumpulkan dan memanfaatkannya juga sudah tidak ada lagi.
Satu lagi tradisi kebudayaan asli Indonesia yang cukup tinggi, tererosi oleh jaman tanpa ada yang memperhatikan dengan layak. Kubermimpi - ingin mencoba melacak pohon-pohon yang menghasilkan bahan pewarna ini dan mencoba merevitalisasi seni membatik di Jambi ini. Mungkinkah dapat ditelusuri apa spesies pohon-pohon ini? Barangkali masih dapat ditemukan di Taman Nasional yang tak jauh dari Jambi dimana Suku Anak Dalam tinggal?
Menjaga dan menyempurnakan ekspresi kebudayaan lokal seperti batik Jambi menurutku penting. Karena hal-hal seperti inilah yang akan memberi ciri khas yang spesial bagi suatu masyarakat - diantara libasan globalisasi. Diane Coyle - seorang ahli ekonomi yang mengupas masalah globalisasi dan kapitalisme baru - mengungkapkan bahwa kedepan uang bukan merupakan kapital yang terpenting untuk dimiliki oleh seseorang. Capital yang terpenting justru merupakan human capital dengan kemampuan untuk memberikan perspektif yang unik kepada dunia. Ketika masyarakat pembatik Jambi meninggalkan ketrampilan khasnya untuk mengelola berbagai tumbuhan menjadi pewarna batik, yang menghasilkan tekstur warna yang sangat khas pula - mereka sesungguhnya secara tidak sadar sedang 'membunuh' sebagian dari kekayaan human capital yang bersifat khas dan bisa menambah daya saing dalam dunia yang telah menjadi kecil akibat globalisasi ini.
Semoga jenis-jenis tumbuhan pewarna batik ini belum punah sama sekali, masih bisa ditemukan dan dibudidayakan kembali bersama dengan revitalisasi hutan di pulau Sumatra. Semoga revitalisasi hutan dan revitalisasi batik Jambi dapat saling memberi inspirasi dan energi untuk bertahan dengan kokoh - tidak terlibas oleh globalisasi - melainkan dapat berdiri kokoh dengan karakter yang kuat dan spesial sehingga mampu terus beradaptasi dan berkembang tanpa kehilangan ciri khasnya.
1 Comments:
Batik seharusnya menjadi totem setiap kota. Saat ini batik menjadi hasil karya yg dikerdilkan oleh sistem sosial. Seolah-olah dihormati karena dipakai pada saat pesta atau acara resmi. Tetapi, itulah penjara bagi batik.
Beberapa waktu lagu, saya sengaja pakai batik di plasa senayan...kelihatannya jadi orang asing, karena ruang-raung itu jadi kagok dengan kehadiran batik yang aku kenakan.
Padahal dulu sewaktu kecil di Pekalongan, teman-teman sebayaku ya tukang batik. Setelah bikin batik baru main, atau kalau perlu uang cash yang bikin batik.
Maksudku, batik harus punya ruang hidup yg pas. Apakah ada sekolah batik? Batik seperti dipuja tapi juga dilupakan. Aneh memang manusia Indonesia.
Post a Comment
<< Home