Demokrasi, RSS dan Perempuan
Oleh-oleh dari Mataram - Diskusi disini bersama bebebrapa kawan dari civil society - ada dari pesantren, ada dari LSM, ada dari Universitas dan juga dari kalangan Jurnalis.
Topik diskusi? Demokrasi dan Good Governance (ketata-pemerintahan yang baik) he he... bahasa Indonesia kadang-kadang boros sekali ya...
Omong punya omong sambil makan siang kami membahas berbagai indikator terjadinya perbaikan demokrasi dan ketata-pemerintahan di Nusa Tenggara sejak diberlakukannya desentralisasi tahun 1999. Akhirnya kami sepakat - satu indikator yang baik adalah jika warga bisa ikut dalam proses penentuan kebijakan, juga dalam proses pembuatan anggaran pembangunan daerah, sampa ke tingkat desa. Termasuk juga tentunya para warga perempuan. Tantangannya; bagaimana mendorong munculnya kebijakan yang peduli kepentingan orang biasa, dan bagaimana pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk kebutuhan warga sebagai individu ataupun kebutuhan publik yang biasa-biasa juga.
Diskusi terus bergulir - dan ternyata muncul insight bersama - bahwa meskipun banyak sekali pekerjaan telah tercurah untuk memperbaiki ketata-pemerintahan ini, dan banyak capaian berupa PERDA (Peraturan daerah) baru telah terwujud, namun masih saja terasa adanya kesulitan untuk membumikan arena perjuangan sehingga berakar dalam kehidupan dan kepentingan yang dirasakan oleh setiap warga. akibatnya? Banyak dana habis untuk melaksanakan program demokratisasi dan good governance di Indonesia, namun ketika dana kering dan program terhenti, maka reformasi ketata-pemerintahan juga ikut mati suri. Bagaimana kita bisa menjadikan 'good-governance' concern aktif setiap orang sehingga maju dan mundurnya tidak bergantung kepada dana donor? pertanyaan sederhana, namun sulit menjawabnya. sebenernya ini mirip pertanyaan seorang kawan saya Dani, di blog Inspirit-nya... Dia berguman "bagaimana ya caranya menjadikan environmentalism concern semua orang?" Bukan hanya concern - orang-orang WALHI saja?
Mungkin kita perlu mencoba untuk berpikir dan berbuat lebih sederhana. satu contoh terobosan berpikir terlahir di meja makan di Mataram tentang cara "memberdayakan perempuan" melalui upaya mendorong agar kebijakan di Nusa Tenggara lebih peduli perempuan (bahasa kerennya lebih gender sensitif). Hingga saat ini RSS (rumah sangat sederhana) yang dibangun pengembang dengan subsidi pemerintah) tak pernah memiliki dapur. Padahal kami yakin semua perempuan pasti menganggap dapur sebagai kebutuhan primer - karena mutlak diperlukan demi memelihara anak-anaknya dengan baik. Nah - mungkin - partisipasi dalam pembuatan kebijakan bisa dimulai disini - dimana setiap penghuni RSS - dilibatkan untuk menuntut adanya kebijakan yang mengharuskan para pengembang menyertakan dapur yang layak ketika membangun RSS. Atau, menuntut agar pemerintah daerah memonitor dan memastikan agar para pengembang mewujudkan fasilitas umum berupa taman bermain bagi anak secara baik dan benar. Adalah hak setiap keluarga, terlebih hak setiap perempuan Indonesia untuk memiliki rumah dengan dapur yang sehat, dan lingkungan yang aman bagi anak-anak untuk bermain. Pemenuhan hak ini penting dan perlu.
sayangnya, alih-alih memikirkan bagaimana kebijakan daerah - dapat mendorong pemenuhan kebutuhan-kebutuhan praktis namun fundamental bagi kaum perempuan yang selama ini terabaikan - beberapa kabupaten di Nusa Tenggara konon malah membuat anggaran belanja daerah (yang ironisnya di'pasarkan' sebagai budget yang sensitif gender) yang mencakup biaya jalan-jalan para ibu Camat untuk studi tour ke Jakarta. Tentulah ini jauh panggang dari api. Tak perlulah para ibu Camat ini mendapatkan subsidi dari anggaran pemerintah daerah untuk jalan-jalannya. Jika ini yang terjadi - bagaimana kita dapat mendorong terwujudnya penghapusan kemiskinan di Indonesia?
Masih banyak PR bagi kita semua untuk mendorong agar kebijakan-kebijakan yang ada di negeri ini memenuhi kebutuhan orang biasa, untuk hidup secara wajar dan bermartabat sebagai warga negara yang demokratis.
3 Comments:
Eemmmh. RSS! Cita-cita menjadi orang Indonesia itu kok sederhana banget ya. RSS. Coba kalau kamu hanya punya cita-cita punya RSS, pasti susah hidupnya. Cita-cita tertinggi kok ingin hidup susah.
Padahal orang-orang miskin di kampung-kampung rumahnya besa-besar. RSS itu cita-cita orang kota yang kalah.
Ini kita bicara politik ruang. Apakah the house is flat. RSS khan flat banget. Baru masuk sudah keluar. Kalau rumahnya begitu flat...lantas dimana proses kreatif dan produksinya?
Mungkin baik juga mulai kembali ke semangat komunitas. Bikin eco-village atau eco-housing atau co-housing
He he Dan..... kalau bicara tentang change cita-cita dan visi memang harus besar. Namun --- jika berkarya untuk change --- harus mulai dari yang sangat sederhana dan kecil.
RSS - itu adalah posisi dimana jutaan miskin kota tinggal (dan ini bahkan bukan yang termiskin) - tapi mereka mesti mulai aktif terlibat dalam politik ruang kan? Nah - ini dimulai dari rumah mereka.
Kalau cita-citaku Dan? Aku pingin borong perumahan kumuh perumnas bantarkemang - lalu bikin - perumahan tingkat 4 yang bagus dengan taman yang luas - jogging track - dan fasilitas komunitas lainnya - tapi untuk itu gue mesti kumpul duit dulu toh? atawa mau bergantung donor? he he he....
Proses kreatif? Dani kenal Pramudya? Dia berproses kreatif di ruang penjara! Tapi mungkin Buru itu seperti pulau penjara di film Papillon itu ya...
saya bingung juga dengan pakde pramudya, menurut saya, ia masuk orang ajaib.
semisal, kamu hidup di singapura, apa bisa menulis seperti yang kamu tulis sekarang, ada trembesi, ada bligo, ada apa lagi...
ruang kreasinya khan kecil banget, kecuali orang singapura sejak kecil, otaknya diformat menjadi warga dunia....mungkin lain.
saya kok percaya dunia jembar itulah yang bisa membawa kreatifitas di luar kebiasaan.
waktu kamu menulis tentang belanda dulu, bagaimana tuh orang belanda? Apakah dia merasa ruang nya semakin menyempit? atau,.....
ada ruang lain.....yang membuat orang bisa survive seperti pramudya....karena otak kita khan 100 milyar sel atau cukup untuk 500 eksiklopedia...
Post a Comment
<< Home