Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Saturday, May 13, 2006

Meniti Batas Produktifitas

Setiap ku pulang ke Sekaralas, selalu saja disambut cerita pilu yang sama. Pupuk langka dan mahal, pestisida juga menguras kantong, belum lagi solar untuk pompa air dan biaya traktor yang membengkak.. Petani semua bercerita bahwa pada waktu panen tak ada hasil yang dibawa pulang - seluruhnya habis untuk membayar biaya pengelolaan sawah ditambah biaya hidup keluarga dalam empat bulan terakhir.

Lalu? Kenapa terus bertani seperti ini? jawabannya sangat logis sekaligus ironis - karena jika kami mengolah sawah dengan cara lain, yang belum terbukti akan berhasil, maka warung dan pihak pemberi utang akan meragukan 'kredibilitas' kami. Jadi para petani terus bertani dengan cara yang sama, meski tahu pasti tak kan ada hasil, karena hidup keluarganya empat bulan kedepan bergantung kepada pengelolaan sawah seperti biasanya. Petani terperangkap dalam lingkaran setan gali-lubang tutup lubang untuk bisa hidup dari musim tanam yang satu ke musim tanam yang berikutnya.

Setiap bisa ketemu aku dan Sari selalu memutar otak mencari celah yang bisa menambah penghasilan, yang tidak kejam pada alam, dan tidak menguras tenaga warga desa yang sudah kelelahan ngurus sawah... Minggu lalu kita coba mencari tanaman apa yang bisa menghasilkan daun banyak dalam waktu singkat, agar kami dapat mendongkrak produksi pupuk organik. Lalu, tumbuhan pangan apa yang tumbuh subur, tanpa hama, tanpa ruang banyak, dan banyak menghasilkan. Dalam mengitari kebun dan kolam akhirnya kami memutuskan untuk 'bertani sawi air' dikolam-kolam. dan mengolah hasilnya menjadi pupuk organik setelah dijemur (dicampur kotoran ternak), karena tanaman ini rupanya hanya butuh sinar matahari yang banyak untuk tumbuh subur dan berkembangbiaknya sungguh cepat.

Lalu untuk tanaman pangan kami menemukan 'waluh' (pumpkin). Ini tanaman yang tumbuh sangat mudah dikebun, selalu berbuah dan hampir tanpa hama. Kebetulan saat ini di kebun sedang banyak sekali 'waluh' besar yang menua. Orang desa menganggap ini bahan pangan tanpa nilai. Hanya untuk dimakan sendiri, dijual tak banyak mendatangkan uang, sehingga perlakuan terhadapnya juga seadanya. Tapi kita berpikir lain.... kami tinggal memutar otak mencari strategi pengembangan nilai tambah kepada 'waluh' ini. Sementara kami berpikir bagaimana membuat pati darinya dan mengembangkan berbagai kue kering darinya, juga berpikir bagaimana membuat pie darinya.

Semalam Sari sudah bercerita, bagaimana anak-anak Sekaralas begitu bersemangat melihat 'pumpkin pie' di internet. Mereka ingin segera bereksperimen membuatnya - dan mencoba menjualnya dipasar.

2 Comments:

At 4:26 AM, Anonymous Anonymous said...

Waluh itu enak sekali. Saya pernah membaca bahwa Waluh itu makanan pokok orang dari Botswana!

Pernah lihah Wikipedia bahasa Indonesia? Bagus lho! Perhaps the kids can add their local knowledge?

http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama

Salam dari Melbourne, Australia,
Karen

 
At 5:10 PM, Anonymous Anonymous said...

Wah, makasih Ren, nanti kita coba cari resep-resep botswana. Aku baru selesai mencari berbagai resep amerika. cokies, pies, cakes, dll ---- ini pasti bisa laris di bogor dan Jakarta, even di Jogja...

Salam,

chan

 

Post a Comment

<< Home