Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Wednesday, January 11, 2006

Dunia Ini Datar

DUNIA INI DATAR

Ya begitulah kata Thomas Friedman - dalam bukunya 'The World is Flat" - yang mengupas bagaimana perkembangan teknologi saat ini memungkinkan dunia untuk menjadi datar. Tak peduli di dan dari negeri manapun anda, jika anda memiliki akses kepada technologi, skill dan kemampuan berkomunikasi lewat kesepahaman bahasa, maka anda akan bisa berkompetisi secara setara dengan individu dari negara manapun di dunia. Tak peduli anda berasal dari negara berkembang ataupun negara maju. Tak peduli anda anak Indonesia atau anak Amerika atau Uni Eropa.

hanya saja - jika dicermati - kompetisi job di pasar global ini hanya flat bagi masyarakat negara berkembang yang memiliki keistimewaan diatas: yaitu mereka yang memiliki akses pada teknologi, menguasai pengetahuan dan skill, serta menguasai bahasa internasional. Bagi mereka-mereka yang tidak mampu meraih hal-hal itu - maka menurut saya dunia jadi semakin njomplang! Artinya bagi kebanyakan warga negara Indonesia saat ini, dunia semakin sedikit memberikan kesempatan untuk maju - anda semakin terjepit, semakin sulit cari kerja, semakin terpinggirkan dan terpuruk. ITU JIKA ANDA TAK BERPIKIR KREATIF!

Apa yang bisa anda lakukan? Menurut Friedman - anda mesti berusaha menjadi "Untouchable" - menjadikan job anda tak bisa disentuh dan tak bisa direbut oleh siapaun, artinya menjadikan diri anda pemenang dalam kompetisi global ini. Ada yang bilang berkompetisi didunia global itu seperti mengayuh perahu disungai berarus - kalau anda tak melakukan apa-apa ya anda akan bergerak mundur. Jadi dalam kompetisi global - anda harus terus menerus belajar hal baru, terus menerus menyempurnakan skill, dan mampu beradaptasi secara sangat luwes. Mungkin dengan begini anda bisa menjadi "Untouchable" Mungkin dengan begini tak ada yang bisa merebut job anda.

Lagi-lagi Friedman (lagi baca buku dia nih) - mengatakan ada 4 jenis untouchable ini: mereka adalah (1) orang yang sangat special (seperti Bill Gates, Sting, atau Beckham - dikit skali yang bisa sperti mreka); (2) orang yang spesialis - mereka ini digambarkan Friedman adalah para lawyer spesialis, spesialis bedah otak, spesialis desainer computer, dll. Menurut saya: orang Indonesia banyak yang bisa jadi spesialis juga sebenarnya - bukan dibidang teknologi tinggi - tapi di bidang karya seni budaya, kita punya ibu-ibu Nusa Tenggara yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan tenun, penggunaan warna alami, misalnya. Karya mereka sebenarnya sudah berevolusi menjadi suatu karya seni tinggi - yang tak dapat dijiplak oleh siapapun - tidak juga oleh industri tekstil pencuri motif (motif mungkin dapat dicuri) tapi "market niche" untuk tenun asli buatan tangan itu tak akan pernah jenuh (asal bisa beradaptasi dalam "menjual"nya di pasar global. Banyak lagi hal lain yang dapat dikembangkan sebagai spesialisasi di bidang seni dan budaya Indonesia ini; (3) orang yang anchored - yaitu orang yang memang harus ada disuatu tempat - seperti ahli kecantikan, waitress restoran, dsb - kerja mereka tak dapat ditranfer kedalam bentuk digital dan dikerjakan dari tempat lain - jadi cukup aman juga; (4) orang yang 'really adaptable" - yang terus belajar skill baru, yang sangat dapat menyesuaikan diri 'what you can do and how you can adapt and how you can leverage all the experience and knowledge you have when the world goes flat - THAT IS THE BASIC COMPONENT FOR SURVIVAL - Kata Friedman...

Jadi, DUNIA YANG DATAR sebenarnya tak hanya menyediakan kesempatan bagi anak-anak kaum elit Indonesia yang mampu sekolah mahal untuk meraih - akses teknoloki, pengetahuan, skill dan berbahasa majemuk - tapi juga terbuka bagi berbagai masyarakat yang masih "anchored" di dalam konteks kebudayaannya yang khas - karena dalam hal ini mereka adalah spesialis. Hanya saja mereka akan harus sangat mampu beradaptasi dan terus menerus belajar hal baru - tanpa membuang warisan seni budaya darimana mereka berasal (karena ini justru adalah modal utama untuk maju).

Pertanyaannya - siapa yang bisa membantu mereka untuk beradaptasi - karena beradaptasi ini akhirnya bermakna - harus juga mampu mengakses teknologi, pengetahuan/skill dan berbahasa majemuk? Mengapa? karena semua ini akan dibutuhkan untuk dapat "mengeksploitasi niche spesialis" yang mereka miliki di pasar global.... Mungkinkan pemerintah Indonesia bisa melakukannya? Ataukan LSM Indonesia? Mudah-mudahan akan muncul social entreprenuer yang dapat membantu proses ini...

1 Comments:

At 5:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Di Indonesia banyak orang yang memiliki kemampuan untuk berpikir mendalam tentang hal-hal seperti ini, mereka adalah potential social entreprenuers… tapi sukses hanya akan datang apabila ada “kepemimipinan” dari institusi-institusi negara dan kemasyarakatan. The other question is, apakah birokrasi Indonesia, atau saudara-saudara di sebagai LSM, dan masyarakat yang “wired to the world” mau dan mampu bekerja untuk kemajuan bangsa?

 

Post a Comment

<< Home