Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Sunday, April 30, 2006

Menjadi Berguna itu Membahagiakan




Komunitas SGN sambil berproses belajar banyak kearifan. Satu hal yang disadari kini, adalah bahwa jika kita serius mengerjakan sesuatu, mencurahkan energi positif dan penuh perhatian dalam berkarya, maka akan tercipta daya tarik yang 'menyedot' orang lain untuk ikut berkarya juga, 'menarik' orang lain untuk ingin ikut merasakan 'nikmatnya berguna'.

SGN pada awalnya lahir dari kepedulian yang dalam terhadap ekologi, masyarakat dan kebudayaan desa Sekaralas. Namun tak ingin terjebak pada pendekatan 'community development' atau 'community organizing' yang jamak dilakukan oleh LSM. kekuatirannya adalah bahwa ini akan melahirkan semacam tabir pemisah 'kita para organiser/community developer' dan 'mereka masyarakat desa' yang patut dibantu. Berdasarkan pengalaman, pendekatan seperti ini dapat menimbulkan ketergantungan - dimana dinamika upaya perbaikan kondisi akan bergantung kepada ada atau tidaknya organiser. Kemudian ini akan bergantung lagi kepada ada atau tidaknya dana untuk membiayai si pekerja CD atau organizer ini.

SGN sengaja lahir sebagai suatu 'daya kreatif' - kami ingin mengasah kreatifitas kita - terus menerus mengeksplorasi batas - secara konstruktif terus berusaha untuk meraih kesempurnaan. Kesempurnaan ini bisa bermacam-macam: kesempurnaan karya yang mencakup kehalusan kerja tangan dan keindahan bentuk yang difikirkan, kesempurnaan dalam mencari jalan keluar dari berbagai kebuntuan (bisa kebuntuan dialog, bisa kebuntuan dana, bisa kebuntuan dalam artian sumberdaya lain yang cekak) - fasilitator SGN terus menerus mengajak komunitasnya dan dirinya sendiri untuk terus mencari jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan ini, juga kesempurnaan dalam berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas - yang selalu dipegang dalam proses ini adalah roh kreatifitas yang positif.

Hal lain yang dipegang oleh SGN - adalah kemandirian. SGN harus dapat menyemai kemandirian terutama untuk dirinya sendiri - oleh karena itu - kami juga ingin menumbuhkan berbagai lapangan bagi masyarakat desa untuk berkarya dan memperoleh penghasilan di desa. Menurut kami, ini hanya mungkin tumbuh dengan subur jika kita mampu untuk 'mengolah alam desa dengan rasa cinta'.

Ternyata pendekatan ini ampuh juga. sebagai komunitas kreatif SGN sendiri terus berkembang, dengan karya-karya yang semakin berkualitas dan beragam.

Yang menarik adalah bahwa rupanya SGN juga mulai 'menyedot' perhatian berbagai pihak dikalangan masyarakat desa yang lebih luas. Terutama para pendidik. Jumat lalu SGN diminta oleh TK Mandiri milik masyarakat setempat untuk mengisi pelajaran selama sehari. Anak-anak diajak untuk mengolah taman TK. SGN datang dengan berbagai bibit tanaman hias dan merencanakan bersama para ibu Guru dan anak-anak ploting tanaman (semua anak seterusnya mendapat tanggung jawab untuk memelihara plot masing-masing dengan baik). Lewat mengolah taman anak-anak mendapatkan pengalaman tentang indahnya menjadi berguna, tentang pentingnya tanggungjawab, juga bahwa kerjasama itu mengasyikkan.

Nilai-nilai positif ini tersemai dengan baik, bukan karena SGN memposisikan diri sebagai community developer/community organizer. Nilai-nilai positif ini bersemi dengan subur karena bagi SGN - ini adalah 'way of life'. Tiap hari kami mendapatkan 'reward' yang menyenangkan dan kadang mengejutkan. Selalu saja ada orang yang datang minta untuk ikut dibantu belajar menerapkan nilai-nilai positif ini dalam proses berkaryanya. Seperti para ibu guru TK mandiri ini.

SGN berusaha 'menjadi' seperti pohon jati. Tiap musim kering - bunganya tumbuh subur, menjadi biji-biji yang menyebar terbawa angin - dan tumbuh kuat dimanapun dia jatuh. Seperti kata Bram, salah satu pendiri SGN:
"Pohon Jati tinggi-tinggi tumbuh kuat di tanah cadas yang keras". Anggaplah situasi pedesaan Jawa saat ini adalah tanah cadas yang keras bagi tumbuhnya anak-anak - dengan kreatifitas yang positif - situasi ini dapat diolah menjadi media tumbuhnya anak-anak yang memiliki jati diri yang kuat dan kokoh, sekokoh pohon jati yang tumbuh dicadas keras.

Wednesday, April 26, 2006

Spirit Untuk Memelihara



Satu hal penting yang selalu coba tumbuhkan oleh SGN dalam diri anak-anak Sekaralas adalah spirit untuk memelihara.
Kakuatan nurani yang berupa dorongan untuk memelihara sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kreatifitas yang positif.

Jika kita memiliki spirit memelihara yang tinggi, maka kita akan hati-hati di dalam mengembangkan kreatifitas - agar apa yang kita 'create' tidak menimbulkan dampak-dampak 'destruktif'. Sektor pertanian di desa-desa Jawa - kini sangat lapar spirit memelihara. Bertani lebih disikapi sebagai industri - semua serba mekanik - masukkan input - harapkan output. Masukkan solar untuk mentraktor, masukkkan pupuk kimia ketanah - nanti akan ada hasil padi - yang langsung diambil oleh pengijon. Bertani tak lagi datangkan suka-cita. Bertani bukan lagi budaya bagi masyarakat jawa. Hampir punahlah budaya bertani, yang ada adalah 'robotisme industri' di sektor pertanian.

Pelahan Sari di SGN melalui interaksinya dengan anak-anak menyemai benih spirit memelihara. Mula-mula dengan mengolah taman di sanggar SGN. Rupanya kian lama, anak-anak tertular juga. Merekapun ingin mencipta taman-taman indah dirumah mereka, juga disekolah. Taman SGN menjadi tempat mereka belajar mencintai tanaman, belajar memelihara dengan kecintaan dan kebanggaan. Diatas adalah gambar kebun bersama milik anak-anak di SD Sekaralas, dan kebun di rumah Alma - salah satu anak yang aktif di SGN.

Tuesday, April 25, 2006

Bertani Itu OK





Bertani itu OK - demikian kira-kira moto anak-anak Sekaralas. Setiap hari mereka sukacita datang ke kebun Subur Gemi Nastiti untuk ikut mengolah kebun.

Hari ini mereka asyik mengupas asam - untuk dibuat menjadi sirup. Anak-anak kemudian akan membuat es lilin, yang dijual di desa. Dengan begini mereka menyediakan jajanan sehat untuk diri sendiri dan sesama.

Hasil kebun lain yang hari ini bisa dipanen adalah kecipir. Ini sejenis kacang-kacangan yang mengandung protein tinggi. harganyapun cukup mahal jika dijual. Tapi biasanya yang dipanen disini masih habis dikonsumsi sendiri. Mudah-mudahan nanti kebun Subur Gemi Nastiti dapat menjadi penyedia benih kecipir bermutu bagi penduduk desa lainnya.

Anak-anak tak hanya sibuk mengolah dan memanen. Setiap hari ada saja yang harus mulai dipindahkan dari persemaian kedalam gelas-gelas kecil yang dikumpulkan anak-anak. Sekalian memanfaatkan sampah agar bisa berguna.

Bertani selalu membawa keasyikan dan kesenangan kedalam hidup anak-anak ini. Semoga mereka dapat belajar bagaimana terus memuliakan tanaman, mengolah alam demi kesejahteraan kini dan dimasa depan.

Saturday, April 22, 2006

Kreatifitas Anak Anak





Subur Gemi Nastiti memiliki program pendidikan untuk anak-anak, mulai dari usia SD hingga SMU. Biasanya anak-anak SD dan SMP belajar bahasa inggris dan berlatih kreatif bergaul dengan alam dan mengolah apa yang ada disekeliling mereka. Sedang anak-anak SMU belajar komputer dengan dua komputer SGN.

Disini bisa dilihat hasil upaya mengolah pewarnaan dengan teknik 'marbling' kertas-hand made yang memuaskan, serta tumpukan kertas marna-warni hasil karya bengkel SGN yang siap dipasarkan. Melihat hasil karya ini anak-anak bersemangat untuk mencoba ikut belajar mengolah kertas.

Dalam gambar ini mereka mencoba mewarnai kertas hand-made dengan teknik 'marbling'.

Friday, April 21, 2006

Mencipta Keindahan Menjaga Keragaman




Lagi-lagi cerita tentang Sekaralas,
Disini kami di komunitas Subur Gemi Nastiti - bekerja mengumpulkan berbagai jenis tanaman obat dan tanaman hias yang memiliki akar kultural yang dalam pada masyarakat pedesaan Jawa. Jika landscaper di kota sibuk mengembangkan desain-desain taman yang menggunakan bunga-bunga dan tanaman hias eksotis, import dan bergantung pada penjual-penjual benih multinasional, kami justru melakukan gerakan counter-culture dengan mengembangkan tanaman-tanaman asli. Kebun dan taman kami lambat laun berkembang menjadi 'seed-bank tanaman asli - terutama tanaman obat, tanaman hias dan juga buah-buahan.

Dalam upaya menjaga keberlanjutan hidup tanam-tanaman ini kami sering menjumpai masalah. Contohnya, untuk buah pepaya, yang dua puluhan tahun yang lalu tersedia dalam berbagai bentuk, warna dan rasa - kini di desa dan (saya curiga) di sebagian besar Jawa hanya tersedia pepaya bangkok. Pepaya asli yang tumbuh tinggal pepaya sayur - yang hanya memiliki rangkaian bunga yang lebat - ini yang digemari sebagai sayuran. Juga buah bligo - yang dulu tumbuh dimana-mana, digunakan sebagai sayuran, juga sebagai obat panas dalam. Kini telah hilang dari desa. Oleh karenanya, kami di SGN - kemanapun kita pergi selalu membuka mata lebat-lebar untuk mencari benih-benih berbagai tanaman ini. Untungnya - kepunahan spesies (termasuk tanaman) kadang-kadang hanya bersifat lokal. Jika halnya masih demikian kami masih dapat mengintroduksikannya kembali kesuatu wilayah. Yang sering tidak disadari - tanaman seperti juga makhluk yang lebih 'dramatis' seperti gajah, harimau, elang, dan berbagai satwa laut juga dapat mengalami kepunahan. Kepunahan tanaman punya dampak yang sama dengan kepunahan binatang - karena sama-sama merusak keberlanjutan 'rantai-kehidupan/makanan' di alam.

Dalam memperingati "Hari Bumi" kami di SGN juga menyikapinya dengan melawan arus. Bagi kami hari bumi adalah setiap hari. Setiap hari melalui setiap kegiatan kami - niscaya kami selalu mencoba merayakan keagungan bumi - dan mencoba melakukan sesuatu untuk menjaga kelestariannya.

Gambar diatas adalah bunga cempaka mulya (yang putih) - bunga ini harum sekali disore hari, dan bunga 'wahyu tumurun' (yang merah), cantik sekali untuk digunakan sebagai tanaman pagar. Orang yang memelihara bunga ini dihalamannya akan selalu menikmati wahyu illahi dalam hidupnya. Bukan begitu?

Masih Banyak Peluang!




Setelah Mampu Membuat Kertas Hand-Made, Apalagi?

Ketika komunitas Subur Gemi Nastiti sudah cukup mulus memproduksi kertas hand-made dari serat alam, mereka mulai mencari-cari apa lagi dari lingkungan sekitar yang dapat dikembangkan. Mereka mulai bereksplorasi olah-tangan, mengasah ketrampilan mengolah kayu, mencari bentuk-bentuk mungil yang dapat memberi nilai tambah yang tinggi kepada sumberdaya kayu. Suatu sumberdaya yang sangat tipis adanya di desa Sekaralas.

Tak Pernah Menebang Pohon

Orang Subur Gemi Nastiti, berkarya dengan kayu yang mereka panen dari pekarangan namun tak pernah menebang pohon. Hanya dahan-dahan yang digunakan. Kayunya beranekaragam, sesuai dengan ketersediaan tanaman yang ada di kebun. Setelah melalui berbagai ercobaan, kayu trembesi, nangka, sawo, mahoni dan jati termasuk kayu favorit karena memiliki warna dan tekstur yang indah. Untuk skala SGN dengan enam pekerjanya, satu kebun seluas 1,5 ha menyediakan cukup kayu. Namun jika seni kriya ini ingin dikembangkan secara lebih luas kepada penduduk desa yang lebih banyak, akan harus dipikirkan bagaimana kayu bisa disediakan secara lestari. Mungkin dengan merapikan dahan-dahan pohon pinggir jalan, atau lebih banyak menanam pohon disetiap tanah yang masih bisa ditanami. Mungkin juga dengan menegosiasikan penghutanan lahan perhutani disamping desa yang telah gundul selama puluhan tahun.

Kian Lama Kian Sempurna

Pada awalnya orang-orang SGN tidak terlalu menikmati membuat mote dari kayu ini. Mote-mote yang pertama dihasilkan sungguh kasar. Tapi dengan pendekatan workshop - dimana setiap hasil diteliti untuk dicari cara penyempurnaannya, setelah beberapa bulan hasilnya lumayan. Mote-mote yang dibuat kini cukup indah, kelihatan bahwa para pembuatnya telah mencurahkan perhatian yang penuh dalam proses produksinya.

Thursday, April 20, 2006

Kertas Hand Made - Kontribusi Kecil Pada Ekonomi Desa




Satu hal yang terus menerus mengusik pikiran, adalah semakin sepinya desa-desa kita di Jawa. Hampir semua dewasa muda, bahkan remaja pergi ke kota atau bahkan keluar negeri dalam upaya memperbaiki nasibnya. Di desa, memang hampir tak ada peluang untuk ini, apalagi jika tak punya tanah sawah. Bahkan yang memiliki sawahpun kini mengalami kesulitan luar biasa karena tingginya biaya produksi pertanian.

Subur Gemi Nastiti, suatu komunitas usaha kecil yang dibangun dengan tujuan menghidupkan ekonomi desa dengan berbasis pada sumberdaya alam dan manusia desa mencoba mengembangkan lapangan kerja yang bermartabat untuk masyarakat desa, yang sekaligus dirancang untuk membuka cakrawala dan merajut hubungan antara orang desa dengan orang di kota, bahkan di manca negara. Subur Gemi Nastiti, hingga kini telah berjalan hampir dua tahun. Ceruk produksi yang dipilih adalah segala bentuk kerajinan berbasis sumber daya alami, yang pertama adalah kertas hand made.

Tak ada suntikan dana dari pihak luar untuk usaha ini. Perjalanan dan perjuangan awalnya juga cukup sulit. SGN mempekerjakan 6 orang purna waktu untuk belajar membuat kertas hand made yang berkualitas. Butuh waktu hampir setahun untuk mendapatkan hasil yang kian sempurna, juga untuk membuka pintu kreatifitas mengembangkan produk berikutnya seperti buku misalnya. Modal awal lebih dari 100 jt (untuk biaya operasional selama 1 tahun dan membeli peralatan awal berupa mesin mengaduk bubur kertas, cetakan, dan penyiapan lahan jemuran. Uang ini didapatkan sebagai pinjaman bank), dikeluarkan oleh pendiri awal SGN (Bram).. kepada semua pekerja diungkapkan bahwa kelanjutan usaha ini hanya dapat terjadi jika pada akhir tahun pertama, gaji dan operasional dapat dibiayai sendiri oleh SGN.

Kini komunitas SGN sudah dapat menghasilkan kertas yang bagus, dan hampir dapat membiayai dirinya sendiri. Hutang di bank memang harus dibayar dari sumber lain. Untuk memulai sesuatu seperti ini pada awalnya mungkin memang perlu subsidi. Bukan saja subsidi uang, tapi juga tenaga dan waktu. Pendiri lain dari SGN (Sari) - mendedikasikan 100 persen waktunya untuk memotivasi dan melatih para pembuat kertas ini. Tantangannya banyak, terutama dalam hal menumbuhkan sense dalam diri para pembuat kertas untuk ingin menghasilkan kesempurnaan dan keindahan. Bahwa ada kepuasan tersendiri dalam berkarya - disamping menerima imbalan uang. Bahwa jika sense untuk kesempurnaan dan keindahan ini kuat, maka akan juga lebih mudah mendapatkan hal yang lain (seperti uang, jaringan orang orang, pengalaman baru, cakrawala yang berkembang)..

Kini cakrawala sudah mulai lebih bercahaya - bagi usaha pembuatan kertas hand made di desa Sekaralas - berkat ketekunan SGN dan komunitasnya. Dalam gambar diatas tampak Salah satu anggota SGN memanen enceng gondok dan hasil 'art paper' dari berbagai serat alam, termasik enceng gondok dan gedebok pisang. Bahkan mulai juga dikembangkan karya lain dari sumberdaya desa - kini orang-orang SGN mulai mengeksplorasi seni mote kayu dari berbagai jenis kayu yang tersedia di desa seperti kayu nangka, trembesi, sawo, jati dan lainnya. Untuk ini hanya dahan-dahan yang digunakan, tak pernah menebang pokok pohon. Blog berikut akan bercerita tentang mote ini.

Salam.

Monday, April 17, 2006

Apakah Kita Mencintai Anak-Anak Kita?

Jika kita mencintai mereka, apakah yang kita lakukan untuk menjaga sungai-sungai yang mengalirkan air kehidupan?
Apakah yang kita lakukan untuk menjaga kenakeragaman hayati yang menyimpan segala kebutuhan gizi dan pengobatan bagi mereka?
Apakah yang kita lakukan untuk menjaga keseimbangan iklim bumi?
Apakah yang kita lakukan untuk menjaga kemurnian udara yang menentukan hidup dan mati manusia?
Apakah yang kita lakukan untuk memelihara perdamain, dan kekayaan kultural dunia?
Apakah benar - kita mencintai mereka anak-anak kita?

Terngiang dikupingku nyanyian Sting:
" ...The Russians love their children too..." begitu katanya. Lagu ini dibuat pada waktu dunia masih terlibat perang dingin.
Dimana manusia sibuk memperjuangkan ideologi.

Namun kini seluruh umat manusia sibuk berperang melawan kehidupan itu sendiri. Adakah kita sungguh-sungguh mencintai anak-anak kita? Kadang-kadang aku ragu.

Friday, April 14, 2006

Bagaimana Kita Menghadapi Hidup?

Beberapa waktu yang lalu - para ahli jiwa di Indonesia berkumpul dan mengeluarkan pernyataan bahwa - Kita, manusia Indonesia perlu memperbanyak berpikir positif. Ini penting jika kita ingin membangkitkan Indonesia.

Hari ini saya membaca salah satu buku favorit saya 'The Wheel of Time" nya Carlos Castaneda. Salah satu kalimat bijaksana yang saya jumpai disana mengatakan "The basic difference between an ordinary person and a warrior is that a warrior takes everything as a challenge, while an ordinary person takes everything as a blessing or a curse". (Perbedaan mendasar antara orang biasa dan seorang pejuang adalah bahwa pejuang akan menerima segala sesuatu sebagai tantangan, sedangkan orang biasa akan menerimanya sebagai berkah atau kutukan).

kedua sifat dasar ini sangat erat berhubungan. Hanya orang-orang yang berpikiran positiflah yang dapat menghadapi hidup sebagai seorang pejuang. Yang mampu melihat peluang didalam setiap tantangan yang muncul. Peluang untuk membangun sesuatu yang lebih baik.

Indonesia memang sedang sangat terpuruk, sumberdaya alam terkeruk habis, ketidak-adilan masih meraja-lela, korupsi dimana-mana sedangkan hutang negara sangat besar. Kita bisa menyikapi ini sebagai kutukan, dan terus menerus berbicara menyesali keadaan ini, atau kita dapat menyikapinya sebagai tantangan yang mengandung peluang untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Manusia biasa akan mengeluh berkepanjangan, sementara seorang pejuang akan bertindak dalam kerangka pikir positif untuk menjawab kebutuhan jaman.

Manusia biasa atau pejuangkah anda?

Friday, April 07, 2006

Natures Gift

A shower of heavenly sunshine
a gentle breeze whispering its story of love to the 'rambutan' leaves
intertwine in time
creating a tinkling sea of shimmering silver
on the cobblestone in my back yard ...
I stand
mesmerized by the patterns
running after each other relentlessly
back and forth
a moment so beautiful
from immortal nature for me
My eyes feast
music enters my heart
time stands still
contentment
joy
in communication with nature

Alija dan Binu Berjumpa Titan Arum - Bunga Terbesar Didunia


"Halo Binu, ini aku, Alija. maaf ya tadi mamaku butuh bantuan, jadi aku agak lama".
"Oh, Alija....namamu Alija ya. Senang bertemu kembali denganmu alija" Hmmm....Sampai dimana ya tadi ceritanya?"
"Kau menceritakan kampung halamanmu di tepian sungai Siak, dimana banyak pohon binuang raksasa dan kehidupan hutan yang ramai dan berwarna." kata Alija.
"Ya...." Binu bergumam "Masa yang indah. Ketika itu hutan di Riau masih utuh....dari tempatku berakar aku bisa mengamati semua yang terjadi disekelilingku, tetanggaku luar biasa beragam, hidup selalu riuh baik pada waktu siang maupun malam....".
Alija mendengarkan dengan takjub....lambat laun mendengar suara Binu membuat kesadarannya seperti tersedot kedalam petualangan masa lalu Binu di hutan Riau yang lebat.
Matahari bersinar cerah di lereng tepian sungai Siak yang tak terlalu curam. Dia memandang sekelilingnya dan melihat berbagai tanaman dengan bermacam-macam bentuk daun, besar, kecil, dan semua nada warna hijau yang mungkin dibayangkan.
Tiba-tiba Alija mengerinyitkan hidungnya, tercium bau tak sedap. Mirip bangkai yang teramat busuk. Mimik wajahnya kelihatan sedikit takut - ada apa gerangan? demikian pikirnya.
Binu memperhatikannya dengan geli - "ada apa Alija?"
"Bau ini lho Binu. Apakah ada binatang mati didekat sini?"
"Oh...jangan khawatir itu hanya bau bunga raksasa, bunga terbesar didunia - namanya Titan Arum (Amorphophallus titanium), itu bunga asli Sumatra. Karena baunya itu dia sering dinamai juga bunga bangkai" Jelas Binu. "Titan mengeluarkan bau busuk itu untuk menarik kaum serangga terutama kaum kumbang dan lalat pemakan bangkai untuk hinggap diputik bunganya dan membantu proses penyerbukan. Dengan begitu Titan dapat menghasilkan buah-buah yang kemudian bijinya akan tumbuh menjadi anak-anak penerus kehidupan Titan arum di alam". Jelas Binu lebih jauh.
"Titan, kenalkan teman baruku, namanya Alija" Binu mengenalkan Alija kepada bunga raksasa itu.
Alija harus mendongak hingga belakang lehernya sakit. Bunga itu seperti muncul dari tanah begitu saja - tinggi sekali, hampir mencapai tiga meter tingginya. Ditengah-tengah bunga - Alija melihat sebentuk putik bunga yang sangat besar terbungkus satu kelopak bunga raksasa, warnanya bergradasi antara merah maroon dan hijau. Bunga itu sedikit bergoyang - seolah tak yakin harus bagaimana menyambut Alija.
Menangkap keraguan Titan Arum, Binu segera menjelaskan "anak manusia yang ini baik Titan - tak ada niat buruknya. Alija sangat ingin tahu betapa menakjubkannya hutan kita ini, mungkin dia dapat membantu menghentikan kehancuran yang kita alami".
"Kehancuran? Apakah kalian terancam kehancuran?" Alija menyahut keheranan.
"Ya...kami keluarga Titan Arum, kian lama kian sulit mendapatkan bantuan untuk berkembang biak. Karena burung Enggang (rhinoceros hornbill bird atau Beceros rhinoceros) yang membantu penyebaran benih kami, kini tak banyak lagi. Mereka butuh hutan yang utuh untuk hidup sejahtera. Padahal kini hutan kami semakin sempit diambil alih oleh manusia." Kisah Titan arum."Tanpa kehadiran Enggang, kami tak mampu menyebar ke berbagai belahan hutan - Enggang suka sekali memakan biji-biji kami yang matang dan merah - lalu mereka mengeluarkan biji-biji kami melalui kotoran mereka di tempat-tempat jauh dimana mereka hinggap".
"Apakah Enggang sudah tak ada sama sekali Titan?" tanya Alija. "Apakah aku bisa membantu menyebarkan benihmu?"
"Enggang masih ada - namun tinggal sedikit Alija. Jika ingin berjumpa Enggang, kamu akan harus kembali beberapa minggu lagi, pada waktu itu buah-buahku sudah akan merah dan ranum, siap untuk disantapnya. Pada waktu itu, akan kami kenalkan kamu pada Enggang, dan diapun akan bisa menceritakan kepadamu semua berita hutan. Di hutan ini, kaum burung seperti Enggang, adalah juga wartawan yang paling tangguh - mereka mampu pergi jauh dan kembali dengan berbagai cerita baru".
Mendengar semua ini, Binu kemudian berjanji untuk membawa Alija untuk berpetualang ke hutan pada waktu buah si Titan matang nanti.

Wednesday, April 05, 2006

Kisah Si Binu, secarik Kertas dari Kayu Binuang

Perkenalan dengan Alija

Suatu sore yang dingin, ketika hujan rintik-rintik menyiram kota Bogor, terdengar keluhan kecil di ruang belajar Alija. "Aaah...jika hujan begini kujadi rindu kampung halaman...andai saja kudapat kembali kesana..."

Alija menegakkan kepalanya, menoleh kekanan-kiri dengan wajah penuh tanya. Rasanya tak ada orang lain di kamarnya. Dari mana suara itu? 'Siapa yang berbicara?" sapanya. "Aku disini..." sambut suara lrih itu sekali lagi, kali ini Alija berpaling kearah sumber suara yang ternyata berada dibawah meja belajarnya. Disitu, dikeranjang sampah kertas, terdengar gemerisik lalu menyembulah secarik kertas kado bermotif warna-warni ceria. Kertasnya sudah kumal - Alija ingat betul ketika dia merobek dan meremas kertas itu dengan penuh sukacita karena ingin segera mengetahui ada apa didalamnya. Kertas itu tadi membungkus kado dari ibunya yang baru datang setelah bepergian sekian lama. "Lho.." kata Alija, kau dapat berbicara?' lanjutnya dengan heran, "dari mana asalmu?" tanyanya dengan penuh keheranan.

"Ceritanya panjang sekali, inginkah kamu mendengarkannya?" Alija berpikir sejenak. Rasanya semua PRnya sudah selesai. Lagipula barusan dia juga sedang membaca dongeng, jadi apa salahnya jika sekarang dia beralih mendengarkan dongeng dari si 'carik' kertas yang sungguh aneh ini. "baiklah!" katanya "Ayo, mulailah" katanya. Lalu diapun turun ke karpet kecil disamping meja belajarnya, dan meraih keranjang bambu mungil yang berisi sampah-sampah kertas itu, dari bawah mejanya. Si kertas kado warna-warni, ternyata juga telah memposisikan diri dengan nyaman diatas tumpukan.

Begini kisahnya.... kata si kertas "Aku berasal dari hutan tropis dataran rendah di Riau, Sumatra, dan namaku Binu", dulu...sebelum menjadi kertas, aku adalah bagian dari pohon Binuang (para ilmuwan menamaiku Octomeles Sumatrana) yang tinggi. aku adalah pohon yang sangat besar, dengan tinggi melebihi 55 meter, dan diameterku melebihi 150 centimenter, dahan pohonku yang terendah berada di ketinggian 21 meter, dan pokok pohonku sungguh gemuk yaitu mencapai 4,5 meter. Dari puncakku, aku bisa mengamati pemandangan tepian sungai Siak, dan setiap pagi menyaksikan riuhnya kehidupan hutan yang sungguh sangat ramai dan berwarna".

Alija terkesima mendengar bahwa si Binu ternyata dulunya adalah sebuah pohon raksasa dari Riau, dia jadi ingin tahu lebih banyak. Sepanjang hidupnya dihabiskan di kota, dimana tak banyak pohon-pohon besar, kecuali di kebun raya Bogor. "Apakah hutanmu mirip kebun Raya?" tanyanya ingin tahu, "pasti kamu sulit sekali dipanjat ya Binu, dahanmu yang terendah saja begitu tingginya. Wah...pasti hebat andai aku bisa membuat rumah-rumahan pohon diatasmu.. mama dan papaku pasti kesulitan menjangkaunya, dan aku akan bisa melakukan apa saja disana, bermain sepuasnya" khayalan Alija mulai liar membayangkan segala nikmat anak-anak yang akan dapat diraihnya dipuhon Binuang segagah yang dikisahkan oleh si Binu itu.

"Alijaa......." sayup-sayup terdengan suara mama memanggil. "wah Binu, aku pergi dulu ya, nanti kusegera kembali untuk mendengarkan ceritamu. "Baiklah" Kata Binu..."Kumenunggumu di sini kawan".

Tuesday, April 04, 2006

Mungkinkan Mentransfer Naluri Sebagai "Gatherer" ke Kota?

Kota - pada hakekatnya tak pernah mampu untuk menaklukkan alam. Sekokoh apapun suatu kota - dengan jalanan batu makadam peninggalan romawi seperti banyak terdapat di Eropa sekalipun - alam tetap mampu menyeruak untuk hadir dengan perkasa meski itu mungkin hanya bisa ditemui ditempat-tempat yang terabaikan dari pengaruh tangan-tangan manusia. Dipinggir rel misalnya, atau di pinggir-pinggir jalan raya, di tengah-tengah halaman bangunan tua, dsb. Di Indonesia apalagi. Di kota-kota seperti Bogor misalnya, banyak sekali sumberdaya alam yang potensial untuk 'dikumpulkan' dan dimanfaatkan sebagaimana dilakukan oleh nenek moyang kita dikawasan hutan.

Dulu, masyarakat mencari berbagai tanaman ke hutan-hutan untuk dikonsumsi dan dijual. Bahkan hingga kini banyak masyarakat yang tinggal disekitar hutan masih melakukannya - sebagai contoh mengumpulkan rotan, damar, dsb. Di kota sebenarnya hal yang sama juga dapat dilakukan. Biji-bijian dari tanaman peneduh jalan seperti saga dan petai cina - dapat dikumpulkan untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang bermanfaat, sebagai bahan pernak-pernik, bahan perhiasan, atau sekedar sebagai media untuk mengembangkan kreatifitas. Bunga-bunga rumput liar, dapat juga dikeringkan, diwarnai dan dirangkai menjadi komposisi yang menarik, atau sekedar dikemas sebagai bahan bagi anak-anak 'berprakarya' misalnya.

Tadi saya sempat ngobrol dengan teman yang berkarya mendampingi anak-anak jalanan, dan minggu depan kita berjanji untuk bersua lagi. Agenda kami? Bersama menjelajah Bogor untuk mengidentifikasi potensi yang dapat kami kembangkan. Ini pasti menarik.....I am truly looking forward to it.

Sunday, April 02, 2006

Mungkinkan Sampah Kota Dikembalikan Ke Desa Sebagai Pupuk?

Kini - petani padi di Jawa, sedang manghadapi krisis yang serius menyangkut penyediaan pupuk kimia. Harganya mahal sekali dan di banyak kawasan lumbung padi terjadi kelangkaan. Tanah dikawasan-kawasan ini telah mengeras, kehilangan unsur hara karena sudah sekian dekade digelontor dengan pupuk kimia.

Sementara itu: kota-kota di Jawa menghasilkan tumpukan sampah yang tah diolah. Menjadi media sarang menyakit, serta media konflik, karena pemerintah tak pernah punya tempat yang cukup untuk menimbun sampah-sampahnya ini. Kompas pagi ini (Senin, 3 April 2006) menyajikan tulisan inspiratif tentang usaha mengolah sampah organik kota menjadi pupuk. Suatu usaha yang layak disubsidi pemerintah agar segera menggelora menjadi gerakan. Lalu hubungkan gerakan ini dengan upaya "mengembalikan budi baik ke desa" kirimkan semua pupuk yang dihasilkan kedesa-desa yang selama ini menunjang kesejahteraan hipup kota melalui segala jerih payah petani. Kembangkan suatu "closed loop system "dimana limbah organik bisa kembali ke desa dalam bentuk yang bermanfaat" ---- mengapa tidak mengembangkan jaring sustainability yang dapat menguntungkan bagi semua?

Denting Perangkap Angin

Bayu menari
mengajun perangkap angin
melodi besi terantuk besi
Bambu terantuk bambu
berputar kekanan lalu kekiri
denting denting pipa logam
mengisi malam
dengan
keheningan yang sepi.

Dalam lindungan gelap malam
Dan keributan berbagai suara
Yang meski riuh selalu membawa sunyi
menyembul rasa aman
dari hingar bingar
keramainan pamrih
yang penuh menyesaki siang hari.

Denting denting pipa logam
teriring bisik dedaun bambu
tinggi dipinggir tebing
ah..gita bening perangkap angin
membelai kesadaran
menuntun rasa syukur
merasuk kedalam sukma
Terima kasih Tuhan - Seru Sekalian Alam.