Kemana Keanekaragaman Pangan Kami?
Bayangkan mangga - ada mangga 'endog', bentuknya sedikit lonjong bulat seperti telur, kulitnya juga hijau muda nyaris putih jika masih mentah, kala matang akan berubah orangye menyala - harus matang benar baru manis, jika tidak aduh... aseem banget rasanya. Mangga 'talijiwo' sering juga disebut mangga 'kodok' bentuknya memang sedikit mirip kodok - hijau tua warna kulitnya dan rasanya sejak masih muda rada gurih - ketika matang, warna kulitnya hanya bertambah tua - hijau tua sekali. Entah mengapa dinamakan 'talijiwo' - mungkin karena bentuknya juga mirip hati - tempat dimana jiwa tertambat. Ada mangga 'Bapang' dia besar, tak terlalu beraturan bentuknya dan berserat - manis tapi tawar tak terlalu beraroma, namun demikian segar juga. Ada mangga 'manalagi' - inipun besar jenisnya, kulitnya tipis - manis sekali, saking manisnya selalu membuat kita kepingin lagi jika telah merasakannya. Lalu ada harumanis--- bisa didugalah bagaimana rasa mangga ini.. Tapi satu yang aku sangat suka adalah mangga 'santok-magetan' - bentuknya memanjang, ujungnya sedikit terjungkit 'sexi' - tak terlalu besar dan punya aroma yang sangat khas.. Sayang sekarang sulit dicari, hampir tak bisa ditemui dipasar ataupun disuper market.
Demikian pula sawo - ada sawo kecik, bentuk tajuknya mirip pohon cemara - mengerucut keatas, rapi jali - kini banyak dijadikan pohon lanscape tapi orang tak makan buahnya. Padahal enak - lonjong-lonjong berwarna merah tua, kulitnya tipis seperti kulit anggur bila disobek mengelupas dia.. dalamnya mirip ubi jalar kuning yang sudah direbus, rasanya manis, mengenyangkan. Sawo manilo lebih besar - kulitnya kecoklatan - ada semburat oranye jika matang - manis berair dan segar rasanya, kulitnya juga tipis, tapi mesti dikupas pakai pisau - tak bisa begitu saja ditarik seperti kulit sawo kecik. Pohon lain yang satu famili dengan sawo kecik dan manilo adalah 'sekar tanjung' - bunganya mirip betul dengan bunga sawo kecik - harumnyapun demikian - harum yang 'sedep' orang jawa bilang. Tidak menusuk hidung - namun menembus kalbu - membawa ketenangan. Mungkin itu sebabnya - pelataran kraton - selalu banyak ditanami sawo kecik. Pohon 'sekar tanjung' bisa tumbuh besar - tajuknya bulat sempurna - sangat rindang. Riap daunnya hijau tua - bentuknya cantik - kini banyak digunakan sebagai pohon perindang jalan dikota-kota besar. Dulu bunga tanjung dikumpulkan untuk pewangi 'bedak dingin', bedak khusus dari tepung beras - yang sangat ampuh mencegah jerawat.
Banyak sekali keragaman buah asli Indonesia - juwet ungu dan juwet putih, keduanya agak 'sepet' enak untuk campuran rujak, buah kecapi, buah sirsat, dan beraneka ragam pisang. Indonesia sungguh kaya keragaman buah pisang (pisang emas, susu, raja, raja sereh, kepok, kepok pipit, ambon, tanduk, dan masih banyak lagi). demikian juga jambu, baik jambu biji maupun jambu air - keduanya memiliki keragaman yang tinggi.
Tapi cobalah kepasar - akan sulit untuk mencari sebagian besar dari buah-buahan diatas. Tanpa kita sadari, kita menggadai memori sejarah yang kita miliki, tentang budaya yang mengalir dalam darah dan DNA kita. Hilangnya buah-buahan tersebut bukanlah hal yang sederhana - hilangnya - menandai matinya sebagian dari kultur kita, kultur, Jawa, Sunda - dan kebudayaan lainnya yang ada di Nusantara. Kematian yang sepi - tanpa ada yang menangisi, bahkan hanya sedikit saja yang menyadarinya. Jika merenungi ini, terasa menghunjam benar kata-kata bernas Gabriel Howearth, seorang pecinta keanekaragaman hayati yang berjuang untuk menjaga kelangsungan benih-benih asli. Begini katanya "I gravitate toward cultures that are disapearing, and ussually there are going to be a set of plants that go with them. There's a spirit in the food these people eat that's unique to their cultures, and if you can instill that awareness by spreading those kinds of foods into the mainstream society again, they're going to taste the flavor, and that spirit caries through. We can create that awareness in daily eating of how much spirit is carried in the food you eat". (Saya tertarik pada kebudayaan yang hampir musnah, kemusnahan ini biasanya akan diikuti oleh hilangnya sejumlah tanaman. ada roh yang unik dalam makanan yang dimakan oleh orang-orang ini yang unik bagi kebudayaan mereka, dan bila anda dapat menanamkan kembali kesadaran dengan menyebarkan kembali kebiasaan mengkonsumsi makanan itu, kedalam masyarakat mainstream maka roh pangan itu akan dapat hidup terus - ini terjemahan bebas sekali).
Aku mengagumi ketelatenan para pencinta benih seperti Gabriel ini. Sepanjang hayatnya - dihabiskan untuk memelihara beraneka ragam tanaman, dan mencoba memasyarakatkannya kembali. Contoh kecil juga dilakukan oleh Gita Pertiwi, sebuah lembaga non pemerintah kecil yang berbasis di Solo. Bersama masyarakat wonogiri - mereka mencoba menghidupkan kembali spirit - kebudayaan lokal yang berkaitan dengan makanan - dengan tujuan untuk mengembalikan sedikit keanekaragaman pangan. Salah satu jenis tanaman yang dipilih untuk berkarya adalah kacang-kacangan atau 'koro-koroan' dalam bahasa Jawanya. Sepuluh tahun lalu, masyarakat disini - tak banyak lagi memiliki jenis koro, namun berkat ketelatenan kawan-kawan di Gita Pertiwi, mencari dan membudidayakan kembali berbagai jenis koro, menggali berbagai resep lama yang tak pernah dimasak lagi, dan terus menerus belajar dari tetua di seluruh kawasan Wonogiri, Wonosari, bahkan hingga Pacitan, kini hingga 36 jenis koro - kembali banyak dibudidayakan oleh petani. Berbagai jenis makanan 'baru'pun kembali mengalir kedalam menu harian keluarga-keluarga petani. Ini memperkuat ketahanan pangan, gizi dan juga ekonomi. Sedikit banyak - teman-teman ini melalui tindakan mereka - mewujudkan kata-kata Mikhail Gorbachev dalam pidatonya kepada 'The Global Forum off Spiritual and Parliamentary Leaders' di Kyoto, April 1993: "The philosophy of survival is based on the philosophy of diversity".