Sekartaji

Isu Lingkungan, Perempuan dan Globalisasi di Indonesia

Monday, February 27, 2006

Kemana Keanekaragaman Pangan Kami?

Bayangkan mangga - ada mangga 'endog', bentuknya sedikit lonjong bulat seperti telur, kulitnya juga hijau muda nyaris putih jika masih mentah, kala matang akan berubah orangye menyala - harus matang benar baru manis, jika tidak aduh... aseem banget rasanya. Mangga 'talijiwo' sering juga disebut mangga 'kodok' bentuknya memang sedikit mirip kodok - hijau tua warna kulitnya dan rasanya sejak masih muda rada gurih - ketika matang, warna kulitnya hanya bertambah tua - hijau tua sekali. Entah mengapa dinamakan 'talijiwo' - mungkin karena bentuknya juga mirip hati - tempat dimana jiwa tertambat. Ada mangga 'Bapang' dia besar, tak terlalu beraturan bentuknya dan berserat - manis tapi tawar tak terlalu beraroma, namun demikian segar juga. Ada mangga 'manalagi' - inipun besar jenisnya, kulitnya tipis - manis sekali, saking manisnya selalu membuat kita kepingin lagi jika telah merasakannya. Lalu ada harumanis--- bisa didugalah bagaimana rasa mangga ini.. Tapi satu yang aku sangat suka adalah mangga 'santok-magetan' - bentuknya memanjang, ujungnya sedikit terjungkit 'sexi' - tak terlalu besar dan punya aroma yang sangat khas.. Sayang sekarang sulit dicari, hampir tak bisa ditemui dipasar ataupun disuper market.

Demikian pula sawo - ada sawo kecik, bentuk tajuknya mirip pohon cemara - mengerucut keatas, rapi jali - kini banyak dijadikan pohon lanscape tapi orang tak makan buahnya. Padahal enak - lonjong-lonjong berwarna merah tua, kulitnya tipis seperti kulit anggur bila disobek mengelupas dia.. dalamnya mirip ubi jalar kuning yang sudah direbus, rasanya manis, mengenyangkan. Sawo manilo lebih besar - kulitnya kecoklatan - ada semburat oranye jika matang - manis berair dan segar rasanya, kulitnya juga tipis, tapi mesti dikupas pakai pisau - tak bisa begitu saja ditarik seperti kulit sawo kecik. Pohon lain yang satu famili dengan sawo kecik dan manilo adalah 'sekar tanjung' - bunganya mirip betul dengan bunga sawo kecik - harumnyapun demikian - harum yang 'sedep' orang jawa bilang. Tidak menusuk hidung - namun menembus kalbu - membawa ketenangan. Mungkin itu sebabnya - pelataran kraton - selalu banyak ditanami sawo kecik. Pohon 'sekar tanjung' bisa tumbuh besar - tajuknya bulat sempurna - sangat rindang. Riap daunnya hijau tua - bentuknya cantik - kini banyak digunakan sebagai pohon perindang jalan dikota-kota besar. Dulu bunga tanjung dikumpulkan untuk pewangi 'bedak dingin', bedak khusus dari tepung beras - yang sangat ampuh mencegah jerawat.

Banyak sekali keragaman buah asli Indonesia - juwet ungu dan juwet putih, keduanya agak 'sepet' enak untuk campuran rujak, buah kecapi, buah sirsat, dan beraneka ragam pisang. Indonesia sungguh kaya keragaman buah pisang (pisang emas, susu, raja, raja sereh, kepok, kepok pipit, ambon, tanduk, dan masih banyak lagi). demikian juga jambu, baik jambu biji maupun jambu air - keduanya memiliki keragaman yang tinggi.

Tapi cobalah kepasar - akan sulit untuk mencari sebagian besar dari buah-buahan diatas. Tanpa kita sadari, kita menggadai memori sejarah yang kita miliki, tentang budaya yang mengalir dalam darah dan DNA kita. Hilangnya buah-buahan tersebut bukanlah hal yang sederhana - hilangnya - menandai matinya sebagian dari kultur kita, kultur, Jawa, Sunda - dan kebudayaan lainnya yang ada di Nusantara. Kematian yang sepi - tanpa ada yang menangisi, bahkan hanya sedikit saja yang menyadarinya. Jika merenungi ini, terasa menghunjam benar kata-kata bernas Gabriel Howearth, seorang pecinta keanekaragaman hayati yang berjuang untuk menjaga kelangsungan benih-benih asli. Begini katanya "I gravitate toward cultures that are disapearing, and ussually there are going to be a set of plants that go with them. There's a spirit in the food these people eat that's unique to their cultures, and if you can instill that awareness by spreading those kinds of foods into the mainstream society again, they're going to taste the flavor, and that spirit caries through. We can create that awareness in daily eating of how much spirit is carried in the food you eat". (Saya tertarik pada kebudayaan yang hampir musnah, kemusnahan ini biasanya akan diikuti oleh hilangnya sejumlah tanaman. ada roh yang unik dalam makanan yang dimakan oleh orang-orang ini yang unik bagi kebudayaan mereka, dan bila anda dapat menanamkan kembali kesadaran dengan menyebarkan kembali kebiasaan mengkonsumsi makanan itu, kedalam masyarakat mainstream maka roh pangan itu akan dapat hidup terus - ini terjemahan bebas sekali).

Aku mengagumi ketelatenan para pencinta benih seperti Gabriel ini. Sepanjang hayatnya - dihabiskan untuk memelihara beraneka ragam tanaman, dan mencoba memasyarakatkannya kembali. Contoh kecil juga dilakukan oleh Gita Pertiwi, sebuah lembaga non pemerintah kecil yang berbasis di Solo. Bersama masyarakat wonogiri - mereka mencoba menghidupkan kembali spirit - kebudayaan lokal yang berkaitan dengan makanan - dengan tujuan untuk mengembalikan sedikit keanekaragaman pangan. Salah satu jenis tanaman yang dipilih untuk berkarya adalah kacang-kacangan atau 'koro-koroan' dalam bahasa Jawanya. Sepuluh tahun lalu, masyarakat disini - tak banyak lagi memiliki jenis koro, namun berkat ketelatenan kawan-kawan di Gita Pertiwi, mencari dan membudidayakan kembali berbagai jenis koro, menggali berbagai resep lama yang tak pernah dimasak lagi, dan terus menerus belajar dari tetua di seluruh kawasan Wonogiri, Wonosari, bahkan hingga Pacitan, kini hingga 36 jenis koro - kembali banyak dibudidayakan oleh petani. Berbagai jenis makanan 'baru'pun kembali mengalir kedalam menu harian keluarga-keluarga petani. Ini memperkuat ketahanan pangan, gizi dan juga ekonomi. Sedikit banyak - teman-teman ini melalui tindakan mereka - mewujudkan kata-kata Mikhail Gorbachev dalam pidatonya kepada 'The Global Forum off Spiritual and Parliamentary Leaders' di Kyoto, April 1993: "The philosophy of survival is based on the philosophy of diversity".

Saturday, February 25, 2006

Weekend di Kadudampit, Sukabumi

Dari jalan properti itu lebih menyerupai hutan alam lebat yang dibelah sebuah jalan kecil berbatas cemara tinggi berjajar dikanan kiri. Mengikuti jalan yang menurun itu, kita sampai ke sebuah dataran kecil - berlandaskan batu-batu kali. Parkir disini kami menuruni setapak tangga batu --- mengiring turunan bukit, sampai disebuah rumah panggung kecil dengan teras terbuka lebar -yang erat memeluk dinding lereng. Didalam - sebuah perapian ribut memuntahkan kembang api yang memercik riang kian kemari. Suasana yang sangat hangat dan mengundang. Hari ini Pak Ian - seorang sahabat - dan keluarganya mengundang aku, Iwan, Ali dan Anne ke rumah kecilnya di Kadudampit. Disini kami merasakan kenikmatan yang tak dapat dibeli dan tak dapat diciptakan oleh manusia. Pak Ian - hanya memelihara pemberian Tuhan - merawat alam asli yang asri - dan mengijinkan kami untuk ikut mengalaminya.

Di teras - kami duduk sejajar dengan dahan-dahan pohon tinggi - dan puncak rumpun bambu yang berderit diterpa angin. Gemerisik daun bambu ditimpa deru aliran sungai didasar lereng menemani obrolan yang juga tak henti mengalir riang..
Disamping sungai didasar lereng - kolam-kolam air deras memantulkan tarian berlian ketika sinar mentari menyentuh permukaan air - kejernihannya diusik oleh saling silang warna oranye, hitam dan putih mengikuti gesitnya ikan emas yang meluncur kian kemari. melihat ini dari teras - anak-anak tak puas, lalu berlarian kecil menuruni anak tangga menuju pinggir kolam. Keributan mereka menimbulkan melodi baru meningkahi musik alam yang tersaji.

Kini kumengerti mengapa daerah ini disebut Parahiyangan. Disini kami menyatu dengan alam. Sapa bayu berbisik pada dedaunan, lukisan ikan menari dibening kolam, celoteh anak-anak yang riang, aliran sungai yang tak henti membelai batu-batu gunung seperti tarian selendang transparan, begitu 'fragile' namun gagah menderu, menggelegak menceritakan cuaca dihulu. disini manusia masih mengijinkah alam untuk menjadi dirinya sendiri. Terima kasih pak Ian, terima kasih persahabatan.

Thursday, February 23, 2006

Tapak Limanku Sayang-Komunitiku Malang

Tapak Liman

Bahasa latinnya adalah Elephantopus scaber L. Dia tumbuh liar dipadang-padang rumput, pinggir sungai, pinggir hutan. Konon asalnya dari Amerika latin, entah siapa yang membawanya ke Asia. Yang jelas - hampir semua masyarakat asli di Asia mengenal khasiat tanaman liar ini. Mulai dari Cina, Thailand, India dan juga berbagai suku bangsa di Indonesia.

Saya tidak menemukan literatur yang menjelaskan bagaimana tanaman ini berkembang biak. Tapi berdasarkan pengalamanku mungkin ternak yang digembalakan bisa jadi merupakan penyebar yang ampuh untuk tapak liman ini. Kuperhatikan kerbau dan sapi sangat suka melahap tanaman ini jika sedang digembalakan, seluruh tanaman direnggut dengan gigi gigi yang kuat, utuh berikut bunga-bunga kecilnya yang berwarna ungu.

India, cina dan juga Thailand menghargai tanaman ini cukup tinggi. Bahkan "Thai Industrial Standards Institute" yang ditugasi oleh pemerintah untuk membantu menaikkan mutu produk komuniti melalui standarisasi - telah mengembangkan standar baku pengeringan tapak liman bagi masyarakat pedesaan di negeri ini. Ini membantu masyarakat pedesaan untuk mengembangkan potensi alam yang dimilikinya secara ekonomis dengan optimal. Sayang waktu ku 'download' standard ini dari web-site mereka, informasinya tertuang dalam tulisan thailand - mirip-mirip 'Hanacaraka' - nya jawa tapi ternyata tak sama. Tadinya kupikir dapat kutularkan ilmu ini ke berbagai komuniti di Ngawi, wonosari dan Wonogiri. Disini tapak liman tumbuh dengan sangat subur. Tapi tak banyak, hampir tak ada bahkan, anggota komuniti yang memanfaatkannya (kecuali sapi dan kerbau ternak mereka). Kuperhatikan tapak liman sangat suka tumbuh ditanah yang banyak mengandung kapur. Jika orang desa membongkar tembok tua yang bergamping dan meratakannya dilapangan rumput - selalu disitu tumbuh tapak liman sangat subur hingga cenderung menumpuk menutup permukaan tanah.

Pernah aku mencari di google - informasi pemasarannya. Kutemukan bahwa sekilo tapak liman bernilai 27,5 ribu rupiah (tak disebut ini nilai kering atau basah) juga kurang jelas bagaimana memasarkannya. Kini kumasih coba mencari dengan bertanya kesana kemari. Kuingin masyarakat pedesaan dapat memproduksi tapak liman kering yang bermutu, agar dapat dipasarkan secara internasional. Terpikir juga untuk mencari tahu bagaimana membudidayakannya. Kini kami dapat memindahkan bibit dari alam yang liar ke pot-pot kecil untuk dipasarkan berikut dengan resep sederhana pemanfaatannya bagi kesehatan. Tapi kami belum tahu cara mengembangbiakkkanya. Mestinya tak sulit, karena tanaman ini berbunga, jadi pasti ada bijinya.

Di Indonesia sejak dulu sudah diketahui berbagai khasiat tanaman yang juga disebut balagaduk, jukut cancang, tapak tangan atau talpak tana ini. Penyakit yang dapat diobatinya antara lain: Influenza, demam, Amandel, Radang tenggorokan, Radang mata; Dysentery, diare, gigitan ular, Batuk, Sakit kuning, Busung air; Radang ginjal, Bisul, Kurang darah, radang rahim, Keputihan.

Secara ilmiah sifat kimia dan efek farmakologisnya diketahui sebagai berikut: Rasa pahit, pedas, sejuk. Penurun panas, Antibiotik, anti radang, peluruh air seni, menghilangkan pembengkakan, menetralkan racun. Daunnya mengandung zat kimia: Epifriedelinol, lupeol, stiqmasterol, triacontan-1-ol, dotria-contan-1-ol, lupeol acetate, deoxyelephantopin, isodeoxyelephantopin, dan bunganya mengandung: Luteolin-7-glucoside.

Ahli dan ilmuwan yang mengetahui khasiat ini di Indonesia tak kurang. Yang kurang adalah kemauan dari pemerintah (juga kejelian LSM) untuk membantu komuniti di pedesaan untuk memanfaatkan potensi alam disekelilingnya. Pihak yang mau dan mampu membantu masyarakat mengelola sumberdaya ini menjadi produk yang bermutu sehingga dapat menembus pasar global sangat dibutuhkan. Ini penting, mengingat untuk berbagai tanaman obat plafon atas permintaan pasar sebenarnya hampir tak terbatas. potensi alam yang tinggi disatu sisi dan peluang pasar yang luas disisi lain, tersia-sia karena kurangnya kejelian, ketelitian dan ketelatenan para pihak yang konon sedang sibuk mencoba mengentaskan kemiskinan. Sayang sekali potensi tapak liman, malang pula nasib masyarakat pedesaan.

Monday, February 20, 2006

Wealth is determined by what you can live without

Kemandirian itu penting,

Pernah kubaca kata-kata bijak (lupa siapa pengucap pertamanya) bunyinya begini: "Kekayaan bukan ditentukan oleh apa yang anda miliki, tetapi oleh kemampuan untuk hidup dengan sesedikit mungkin memiliki". Mungkin terjemahan ini buruk, aslinya begini 'Wealth is not determined by what you have, but by what you can live without".

Seminggu di Australia, membawaku kembali merenungkan kata-kata ini. Disini, di kota kecil Armidale - orangtuaku tinggal, dalam rumah mungil yang sangat sederhana, dan pola konsumsi yang sangat sederhana pula. Namun hidup mereka sangat kaya. mereka mampu sangat banyak memberi. Ibuku sukarela mengajar beberapa anak usia sd yang memiliki kesulitan membaca. mereka datang bergantian sejam setiap minggu dan duduk bersamanya - untuk mulai menggapai berbagai inspirasi yang tersimpan dalam buku. Sudah banyak anak yang kini menjadi pencinta buku berkat kesabaran dan antusiasme ibuku ini. Diluar itu ayah ibuku, aktif dalam beberapa kelompok membaca, mengupas berbagai buku menarik, isu-isu keadilan sosial dan perkembangan dunia menarik bagi mereka - yang sedang seru dibahas waktu aku berkunjung adalah "the confesion of an economic hit man". Berkebun, juga kegiatan utama yang mereka berdua sangat suka. Ayahku penguasa kebun belakang rumah - ini penuh dengan sayur mayur dan buah-buahan, yang sering harus dibagi bagi saking banyaknya. semuanya ditanam tanpa pestisida - dipupuk kasih sayang, perhatian dan kompos alami, setiap pagi dua jam dihabiskannya disini - merawat kebunnya. Kebun depan penuh bunga dimusin semi, panas dan gugur, dan dimusim dingin masih juga berhias berbagai perdu evergreen, disini ibuku yang berperan. Sering datang teman untuk minta bibit berbagai bunga yang dimilikinya. Sekali waktu, mereka berdua bepergian untuk mendengarkan berbagai pertunjukan musik klasik, jazz, atau lainnya yang datang ke kota mungil ini. Memang - kekayaan sangat dapat ditentukan oleh apa yang kita tidak miliki. Dirumah orang tuaku ini tak ada hal yang mahal, tak banyak barang malah, just the basics, tapi hidup mereka kaya.

Ayah ibuku tak banyak mengkonsumsi barang - hampir semua yang dimakan dibuat sendiri. Tak harus banyak belanja. Seminggu disini membuat kumerasa - benar "untuk kaya tak harus banyak memiliki barang berharga". Kekayaan ditentukan oleh apa yang tersimpan dalam diri setiap manusia - pikiran, nurani, dan kata hatinya. Jika ini semua terbuka untuk terus menerima dan memberi - niscaya kita akan dapat menikmati hidup yang kaya.

Monday, February 06, 2006

Nikmatnya Musim, 'Ale Lamtoro' dan Shatering

Apa hubungannya kenikmatan musim, ale lamtoro, dan shattering? Begitu mungkin gumam anda dengan judul tulisan ini.

Kenangan indah terkait musim I


Kita baru saja merayakan tahun baru cina, semua mall dihiasi 'pohon angpao' - pohon cherry, lambang datangnya musim semi. Di Jepang, pada awal musim semi begini, rumah-rumah banyak dihiasi ranting pohon cherry. Pohon cherry memang luar biasa indah jika berbunga - membawa kelembutan musim semi, menandakan surutnya kelabu musim salju. waktu kecil ibuku memasang sebuah lukisan tinta jepang 'satu ranting cherry berbunga' diatas palang kepala tempat tidurku. Hingga kini- bunga ini dalam realitas ataupun imagi selalu menumbuhkan rasa aman dalam diriku. Hal lain yang sangat berkesan bagiku dari bunga ini - adalah bahwa dia mengumandangkan datangnya musim baru, ini adalah masa yang penuh inspirasi dan membawa sukacita. Washington D.C. diawal musim semi banyak didatangi turis, semua hotel pasti penuh - mereka semua ingin menikmati hari pertama mekarnya 'cherry blossom' - ratusan pohon cherry ini menghiasi kota Washington D.C, sejak ratusan tahun lalu - setelah taman utama dikota ini ditanami pohon-pohon cherry otentik dari negeri sakura, dikirim khusus oleh kaisar Jepang abad lalu, untuk melambangkan perdamaian. Kala menyaksikan keindahan ini, kuselalu bersyukur bahwa orang Amerika tidak menghancurkan pohon-pohon ini ketika Jepang menyerang pearl harbour di masa perang dunia kedua.

Kenangan indah terkait musim II

Dimanapun kita berada, alam selalu menghadiahi nikmatnya pergantian musim, jika saja kita jeli menangkapnya. Setiap hari dalam perjalanan bogor - jakarta kupandangi pohon-pohon lamtoro gung yang seolah berlarian di tepi jalan. Banyak rangkaian buahnya telah kering kecoklatan, banyak yang sudah terbuka dan pasti telah memuntahkan biji-bijinya kebawah pokok pohon induknya. Ada rasa ingin menghentikan mobil untuk mencek apakah biji-biji itu sudah tumbuh menjadi pohon-pohon kecil, adakah sudah berkecambah? Mestinya sudah, sekarang kan hampir tiap hari hujan. Dulu, ditahun 70an, di Indonesia belum ada lamtoro gung, yang ada hanya lamtoro biasa - buahnya lebih kecil - tapi rasanya lebih nikmat sebagai campuran bebotok atau pecel Madiun. Para prijayi sangat suka kedua masakan ini. Tapi mereka tak banyak dikaruniai kesempatan sepenuh anak desa untuk menikmati 'ajaibnya awal musim hujan'.

Anak desa kala itu selalu bisa menikmati 'keajaiban yang menakjubkan' setiap awal musim hujan - bangun pagi selalu penuh kegembiraan, karena kita tahu akan banyak sajian alam bagi kita yang khas musim itu. Seperti tunas 'kunci' (empon-empon yang biasa dijadikan bumbu sayur bening itu), bahan sayuran untuk masak urap dengan bumbu sambal kelapa, kami sibuk mengumpulkannya dihutan jati pinggir desa sepulang sekolah. Atau jamur-jamur liar yang bisa dimakan. Anak desa mengenali semua, mana yang beracun dan mana yang tak boleh dimakan.

Dan pohon-pohon lamtoro disepanjang tepian jagorawi itu - selalu mengingatkanku kepada 'ale'. Ale adalah tunas-tunas kecil yang tumbuh dibawah pohon lamtoro - buah lamtoro pecah dipuncak musim panas, bijinya berhamburan kesekitar, lalu pada awal musim hujan, alam membantu mereka berkecambah. Gadis-gadis kecil akan keluar rumah dengan membawa 'tumbu' (keranjang banbu kecil) berceloteh riang dibawah pohon lamtoro sambil mencabuti ale, terbayang sedapnya sayur asam yang ibu masak nanti malam - karena kali ini ada kecambah ale, bahan istimewa di dalamnya.

Lalu mengapa "shatering"? - ini berhubungan dengan seseorang yang sangat saya kagumi, dialah salah satu sumber inspirasi saya untuk terus mencari tanaman-tanaman yang terancam punah untuk mencoba merawat dan mengembang-biakkannya kembali. Namanya Pat Moony - beliau ini menulis buku tentang politik ekonomi benih, tentang bagaimana konsentrasi kapital industri benih dunia yang kian mengerucut, mencerabut kemandirian petani diseluruh dunia, dan bagaimana ini sebenarnya juga ikut mengancam kelestarian keanekaragaman hayati didunia. Buku ini beliau beri judul "Shatering", waktu kubertanya mengapa judulnya begitu, kudapatkan jawaban "karena itulah yang dilakukan oleh berbagai buah dialam - setelah kering mereka akan pecah dan melempar bijinya keseluruh penjuru angin" - ini yang memungkinkan berbagai tumbuhan untuk terus berevolusi dialam dan menjaga keberlanjutan hidup spesiesnya. Waktu itu kusedang di Canada, dipertengahan musim dingin - tapi kubisa bayangkan persis apa yang dimaksudnya dengan "shattering" ini. Batinku melayang kekampung halamanku - membayangkan pohon lamtoro - rangkaian lebat buah lamtoro dipuncak musim panas - pecah - biji berhamburan - lalu tumbuhlah ale diawal musim hujan.

Thursday, February 02, 2006

Mungkin Belajar Silatlah Jawabannya

Bersyukur bisa nguping diskusi beberapa orang hebat tentang rencana launching buku 'How to change the world". Sebuah buku yang membahas social entrepreneurship - kewiraswastaan sosial - mengangkat kisah-kisah orang yang 'humble' - tapi berkarya besar. Orang orang yang mampu mengubah dunia karena kegigihan, kesetiaan, kerjakeras, kecerdasan dan kreatifitas yang sangat tinggi. Kisah-kisah orang yang karya hidupnya mampu membangkitkan inspirasi untuk ikut berbuat baik.

Diskusi itu ramai. Separo kawan ingin acara besar - menghadirkan semua orang kaya, orang besar dan pejabat. kalau bisa juga menghadirkan SBY untuk meluncurkannya. Kalau SBY mau memberi 'key note speech' dalam peluncuran buku ini - dan meminta semua bawahannya untuk membacanya, maka dampaknya akan besar, begitu logika berpikirnya. Wah - kalau begini: bisa jadi kita sedang membahas jalan keluar Indonesia dari keterpurukannya! karena setelah buku diluncurkan - akan terbentang roadmap yang mulus menuju Indonesia sejahtera....

Tapi nuraniku terusik dengan jalan pikiran ini. Cara diatas berseberangan dengan jalan social entrepreneurship. Bukankah entrepreneurship harus tumbuh dari hati nurani, mulai mengalir jernih dalam bentuk ide - baru setelah diaktualisasikan dengan semua persyaratan seorang social entreprenuer - sumber perubahan ini bisa menggelombang dan membawa perubahan. Perubahan inipun biasanya terjadi karena banyak hati lain ikut terinspirasi untuk mendukung perubahan melalui karya nyata.

malam itu kubaca buku "how to change the world". Thanks untuk Marco Kusumawijaya yang memberikannya padaku. Memang - kisah-kisah di dalamnya cukup luar biasa. Kurenungkan mengapa orang-orang ini dapat mewujudkan karya-karya yang demikian bermakna bagi kehidupan, pada umumnya dengan sumberdaya kebendaan yang terbatas? Kurasa kutemukan jawabannya dalam cinta kasih dan kebebasan dari pamrih. Mungkin dua hal ini perlu ditambahkan dalam resep 'kepribadian yang diperlukan untuk jadi seorang social entrepreneur'. Dua hal yang sangat langka dalam hingar bingar dunia politik, dunianya SBY, dunia para pengusaha besar, dan pejabat besar.

lalu pagi ini kunemu di 'cofee table' rumahku 'Warta Bangau" yang artikel utamanya membahas Cinta Kasih.. Disitu dikutip mukadimah Guru Besar PGB Bangau Putih:

Cinta Kasih
......Tanpa cinta kasih
hubungan antara manusia adalah
hubungan yang penuh pamrih, kering dan tindas menindas.
Cinta kasih mendekatkan manusia kepada alam,
karena cinta kasih adalah inti kekuatan daya hidup,
inti kekuatan daya pertumbuhan, dan
inti kekuatan daya penyembuhan..............

Mungkin, pikirku - lebih baik SBY dan semua bawahannya, juga orang-orang DPR/MPR, MA dan seluruh pejabat peradilan, para orang kaya dan orang besar jakarta - sebaiknya diminta untuk belajar silat saja..

Aku juga hendak belajar silat jadinya. Kujatuh cinta pada mukadimah PGB Bangau Putih ini.....

Morning dew...
upon each blade
of perfectly green grass
The haze of dawn
Thru which the rays of sunshine
Shyly peep
Fill the air with
A crisp freshness of
of a wonderful autumn beginning

kata-kata ini muncul dibenakku tigabelas tahun lalu, dalam perjalanan dari kamar kosku ke stasiun Harlem. Waktu itu bulan November - dan dedaunan sudah banyak berubah warna merah dan orange menyala - melayang jatuh menyentuh tanah dengan lembut ---lalu pelahan terseret deru angin yang membelai mata kakiku, menyingkap bagian bawah celana panjangku, menusuk kaus kaki made in Indonesia yang tak kuasa menahan dingin. Hidungkupun serasa sudah membeku, badanku menggigil - kupeluk bayi kecilku, kucoba balutkan kain gendongan batik solo ketubuhnya yang masih terlelap dipelukku - coba lindungi dia dari cuaca yang sungguh tak ramah ini.

disekelilingku ---semuanya tampak kian kelabu dari hari ke hari. Pagi ini, jauh lebih kelabu dibandingkan awal minggu. Daun yang runtuh sudah banyak yang menjadi kusam. Taman-taman kecil didepan rumah-rumah yang kebanyakan terbuat dari batu masonry - sudah mati. Bagian kota yang kulewati sungguh padat - yang ada hanya bangunan-bangunan kelabu, daun-daun rontok. Tak banyak orang yang lalu lalang.

Anehnya waktu itu - aku merasa sangat dekat pada alam - padahal kemanapun mataku memandang, terbentur pada gedung-gedung kelabu, tiang lampu listrik, toko-toko yang belum buka - setengah kumuh rasanya. Lalu kusadar - rasa dekat kealam ini muncul karena dingin yang menusuk tulang itu ----- dan tiba-tiba---- mataku menemukan sepetak taman kecil yang masih memiliki rumput hijau yang terbentang. Setiap helai rumput itu bercahaya oleh butiran-butiran embun kecil, sementara cahaya matahari mulai malu-malu menembus kabut menyinari semuanya dengan lembut... Terima kasih Tuhan.... untuk keindahan alam yang kau berikan ditengah kungkungan tembok-tembok kelabu yang kadang terasa membelenggu.